September 05, 2014

Belajar Rendah Hati, Wirausaha, dan Silaturahmi

Esai ini termaktub dalam buku antologi "Kapur dan Papan" terbitan Lingkar Antarnusa, September 2014

Robertus Zidan, salah satu murid saya di kelas VII B SMP Fransiba (Fransiskus Bandar Lampung).  Dulu saya pernah mengajar di sana selama satu semester (tahun ajaran 2010-2011).

Saat itu, saya mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Saya meneruskan pekerjaan guru Bahasa Inggris yang mengundurkan diri di tengah tahun ajaran. Saya masuk 6 hari dalam seminggu sejak pukul 07.00-14.00 WIB. Kelas VII pararel 4 kelas dari A, B, C, D. Masing-masing kelas terdiri atas 40 murid, jadi total murid ada 160.

Kini Zidan (begitu nama panggilannya di sekolah) sudah lulus dari SMP Fransiba. Ia melanjutkan studi di SMKN 2 Bandar Lampung. Sedangkan saya sendiri sudah kembali ke Yogyakarta. Tapi, saya dan Zidan tetap saling berkomunikasi lewat media sosial Facebook.

Tatkala masih duduk di bangku kelas VII B, kemampuan bahasa Inggris Zidan termasuk rata-rata. Dalam pengertian, tak terlalu terlalu menonjol dan juga tak terlalu anjlok. Misalnya saat saya mengajar tema bagaimana mendeskripsikan benda (how to describe a thing). Zidan bisa menggambarkan dengan memadai dari segi ukuran (size), bentuk (shape), warna (color), dan bahan (material).

Belakangan saya baru tahu bahwa selain seorang Slankers (fans berat grup musik Slank) ternyata Zidan memiliki hobi unik. Ia suka mengotak-atik tampilan blog dan website. Oleh sebab itu, saya chatting dengannya lewat inbox FB beberapa waktu lalu:

+ Kalau Zidan bisa otak-atik blog, tolong dong blog saya dibagusin tampilannya, kalau saya gaptek je…
- Oh ya udah kalo ada waktu saya bagusin Blog nya deh Pak

Sekilas flashback, awal 2007 saya mulai mengenal blog. Isinya dokumentasi tulisan yang pernah dimuat di media massa. Sejak masih kuliah PBI (Pendidikan Bahasa Inggris) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, saya memang sudah hobi membaca dan menulis. Sampai saat ini, Puji Tuhan total ada hampir 800 buah pena yang pernah dimuat di media cetak maupun online.

Tapi, saya merasa kurang sreg dengan tampilan blog tersebut. Kenapa? karena masih terlalu polos. Dari segi warna dan layout juga kurang eye catching (menyolok). Oleh sebab itu, saya meminta bantuan dari Zidan secara profesional. Saya memang tak mau kalau gratisan. Saya pun mengontaknya lagi lewat pesan inbox FB:

+ Wah saya malah tidak mau kalau gratisan, harus bayar Bro, profesional kita hehe karena Zidan sudah luangkan waktu utk permak tuh blog. Intinya, modifikasi sekreatif mungkin, yg penting tampilannya jadi lebih gaul Bro.
-  Wah iyaa deh Pakk, saya akan cobaa

Semula Zidan memang merasa tidak enak kalau menerima bayaran. Tapi saya meyakinkannya bahwa kita harus profesional. Sebab, ia telah meluangkan waktu, keahlian, dan energi untuk merombak blog jadul saya tersebut. Terlebih, saat itu Zidan masih menjalani masa-masa orientasi siswa (MOS) di sekolah baru. Biasanya, Zidan menggarap proyek renovasi blog tersebut pada akhir pekan (weekend).

Tak lama berselang, abrakadabra!!! Saya takjub dengan kemampuan dan kreativitas Zidan. Kini tampilan dan layout blog saya jadi lebih segar. Silakan mampir jika hendak melihat langsung karya apik Zidan di www.local-wisdom.blogspot.com. Uniknya, saat saya hendak men-transfer pembayaran, ia mengaku tak memiliki nomor rekening di bank karena belum berusia 17 tahun. Zidan meminta dikirimi pulsa sejumlah nominal awal yang telah kami sepakati bersama.

Refleksi

Dari pengalaman tersebut setidaknya saya belajar 3 nilai keutamaan. Pertama, rendah hati. Ternyata guru tak selalu menjadi sumber ilmu satu-satunya. Bisa jadi saya lebih menguasai kemampuan berbahasa Inggris karena  memang termasuk man of letters, yakni orang yang kecenderungan gaya belajarnya – meminjam istilah Prof. Howard Gardner (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983) – linguistik/verbal.

Tapi secara visual/spasial jujur saya kurang bisa optimal. Oleh sebab itu, saya meminta bantuan Zidan yang walau secara linguistik/verbal biasa saja tapi kecerdasan visual/spasialnya lebih mumpuni. Keenam model kecerdasan majemuk lainnya ialah logical/mathematical,  bodily/kinesthetic, musical/rhythmic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistic.

Ironisnya, menurut Handy Susanto S.Psi saat ini kecerdasan murid hanya diukur berdasarkan hasil tes IQ. Padahal tes IQ membatasi hanya  pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa (linguistik). Oleh sebab itu, para guru perlu membuka diri terhadap temuan mutakhir terkait konsep kecerdasan jamak (multiple intelligences).

Caranya kurangi frekuensi mengajar satu arah dengan terus berceramah di depan kelas. Sebab menyitir tesis Paulo Freire – metode gaya bank - semacam itu sudah kadaluarsa. Alangkah lebih baik, kalau aktivitas belajar diisi dengan menggambar, membuat kerajinan tangan, senam otak (brain gym), menciptakan lagu, menyanyi bersama, menari bebas, mendengarkan musik, permainan kelompok, mendongeng, menonton film, bermain sulap, pentas drama, presentasi kelompok, dll.  Aneka aktivitas tersebut niscaya memunculkan kembali semangat belajar murid.

Kedua, wirausaha atau istilah kerennya entrepreneurship. Ini bukan semata soal nominal berapa besaran honor yang saya bayarkan kepada Zidan sebagai balas jasanya memercantik tampilan blog, tapi bagaimana sejak belia ia bisa belajar berwirausaha.

Beberapa waktu lalu, saya juga membesarkan hati Zidan yang memilih masuk ke SMK bukan ke SMA seperti banyak teman-teman lainnya. “Tak apa Zidan, kalau di SMK setelah lulus bisa langsung kerja karena sudah punya bekal keahlian,” tulis saya via pesan FB saat ia mengabarkan diterima di SMKN 2 Bandar Lampung.

Dalam konteks makro, jumlah wirausahawan di Indonesia memang masih minim, Padahal syarat menjadi negara maju salah satunya  dengan memiliki jumlah wirausaha minimal 2 persen dari total jumlah penduduk. Saat ini, jumlah wirausaha Indonesia masih kurang dari 2 persen atau sebanyak 700 ribu orang, jadi masih dibutuhkan sedikitnya 4 juta lebih wirausahawan baru.

Sebagai komparasi, dibandingkan dengan negara-negara lain perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih tergolong lambat. Kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen.  Oleh sebab itu, peluang menjadi wirausahawan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru masih terbuka lebar di Indonesia. (Sumber Data: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/18/090462035/Minim-Jiwa-Kewirausahaan-di-Indonesia).

Ketiga, silaturahmi guru-murid. Walau kini saya dan Zidan terpisah jarak dan ruang tapi hubungan baik perlu terus dijalin. Terlebih saat ini sarana TIK (teknologi informasi dan komunikasi) begitu memadai sehingga kita bisa bertukar informasi dan sharing power (berbagi kekuatan) secara real time (pada waktu yang bersamaan). Tentu sesuai dengan kemampuan kita di lingkar pengaruh masing-masing.

Hingga kini saya juga tetap menjalin silaturahmi dengan St. Kartono, guru Bahasa Indonesia saya di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta dulu. Selain saya menimba ilmu ihwal skill dan etika menulis, setiap bulan pasti berkunjung ke rumah beliau. Kenapa? Karena  mengantar pesanan beras organik dan telur bebek.

Saya juga sempat merasa pakewuh (sungkan) seperti Zidan, karena Pak Kartono itu guru saya. Awalnya, saya tak mau mengambil untung dari penjualan beras organik dan telur bebek tersebut. Tapi beliau sendiri yang mengatakan agar mengambil untung sewajarnya karena saya telah bersedia mengambilkan beras dari petani organik di Sleman dan mengantarkannya langsung ke rumah. Sehingga uang tersebut bisa untuk mengganti biaya bensin, waktu yang dihabiskan selama perjalanan, dan jasa pengiriman (delivery service).

Secara lebih mendalam, saya pun memaknai gaya hidup mengkonsumsi produk organik bukan sekadar untuk mencukupi kebutuhan pangan semata, tapi wujud kepedulian pada kesehatan diri sendiri dan anggota keluarga tercinta. Selain itu, juga merupakan sikap ramah lingkungan dalam keseharian, serta sebuah apresiasi terhadap jerih payah para petani organik yang telah merawat tanaman dari sejak masa persiapan lahan sampai panen raya tiba. Let's go green! Tentu mulai dari diri pribadi dan keluarga sendiri serta orang-orang terkasih termasuk para guru kita.

Akhir kata, saya percaya pada pepatah berbahasa Inggris, “There is no coincidence.” Tiada yang kebetulan dalam hidup ini. Termasuk perjumpaan antara guru dan murid di ruang kelas. Sekarang barangkali belum terasa manfaatnya, bahkan kadang kita menganggapnya sebagai rutinitas belaka. Tapi niscaya tiba saatnya, kita menyadari makna yang lebih dalam dari relasi guru-murid di masa depan.