Agustus 30, 2013

Jejak Langkah Orang-orang Hebat

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/31 Agustus 2013

Judul: Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati
Penulis: Emanuel Dapa Loka
Penerbit: Altheras Publishing
Cetakan: 1/ Juli 2013
Tebal: xxv + 223 halaman
ISBN: 978-602-14175-0-8
Harga: Rp50.000

Ibarat cendawan di musim hujan, belakangan banyak terbit buku berisi kisah-kisah orang hebat. Kendati demikian, sebagian besar memuat pengalaman para tokoh dari negeri seberang. Keunikan buku ini memuat aneka pengalaman inspiratif dari dalam negeri sendiri.

Jika sekadar mencermati tokoh-tokoh dari luar negeri, bisa jadi muncul apologi. Mereka kan bisa seperti itu karena kebijakan pemerintah mendukung. Nah lewat buku ini, Emanuel Dapa Loka membabarkan perjuangan 20 orang hebat yang penuh inisiatif berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.

Kalau toh ada beberapa pendatang dari luar negeri seperti Andre Graff, Frans Magnis Suseno, Andre Moller, dan Johan B. Kassut mereka telah berkiprah di kepulauan Nusantara sejak lama. Beberapa sudah menjadi WNI (Warga Negara Indonesia) pun berikhtiar kelak jenazahnya minta dimakamkan di bumi pertiwi tercinta.

Contohnya Andre Graff yang kini berdomisili di pelosok Kampung Waru Wora, Kecamatan Laboya, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Ia sampai mengirim surat khusus ke Kedutaan Perancis agar kalau dia meninggal, mayatnya tidak perlu dikirim ke negara asal. “Biasanya pemerintah akan mengirim mayat orang yang meninggal. Saya bilang tidak usah. Saya mau masuk di tanah orang miskin dengan biaya yang paling murah. Mayat saya tidak punya arti, saya berharap yang saya buat selama hiduplah yang punya arti,” terang jebolan jurusan Biologi Universitas Strasbourg tersebut (halaman 65).

Kedua puluh kisah dalam buku ini diramu secara matang. Versi bahasa Inggrisnya telah dimuat di harian The Jakarta Post. Jaya Suprana dalam bagian epilog mengapresiasi Emanuel Dapa Loka yang tekun menulis dan menerjemahkan kehebatan para tokoh yang tak lekang oleh waktu tersebut. “Bayangkan betapa hebat kisah seorang putera Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Sumba, NTT yang tentu saja - sempat menjadi joki menunggangi kuda Sumba, yang kemudian mengembara ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu sambil mencari nafkah sebagai penjual buku dengan menunggangi sepeda onthel sebelum menjadi penulis freelance pada salah satu koran terkemuka berbahasa Inggris dan akhirnya berhasil menulis dan menerbitkan buku hebat yang sedang Anda baca ini.” (Halaman 223).

Belajar Jujur

Dalam bidang pendidikan, penulis mengangkat sosok St. Kartono (46 tahun), guru bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Nilai integritas menjadi inti liputan tokoh bertajuk, “Guru yang Menulis dengan Jujur”. Sejak kecil, anak  mandor perkebunan di Surakarta itu sudah bercita-cita besar. Kartono remaja hobi membaca majalah dan buku-buku. Ia sangat menikmati sajian tulisan di dalamnya. Dalam hati ia merasa kagum dan berguman, “Suatu saat nama saya pasti ada di sini. Saya ingin nama saya juga dikenang orang!”

Puluhan tahun berselang, mimpi tersebut sungguh menjadi kenyataan. Dua bulan pasca resmi menjadi Guru di SMA De Britto, tulisannya dimuat di harian lokal Yogyakarta. Alhasil, kiprahnya di Sekolah Menengah Atas khusus laki-laki yang mengizinkan siswanya berambut gondrong tersebut menjadi titik kompromi pribadi sebagai jurnalis sekaligus akademisi.

Pilihan Kartono ternyata menorehkan satu warna khas. Kenapa? sebagai seorang guru, tulisan-tulisannya berangkat dari pengalaman riil di kelas. Itulah yang membedakan Kartono dengan para pengamat pendidikan dan penulis-penulis lainnya. “Ketika saya tulis tentang “relasi dengan murid yang baik dan manusiawi” misalnya, orang akan ngecek pada murid-murid, benarkah Kartono menerapkan itu? Bahkan ada orang tua yang mencermati tulisan-tulisan saya, lalu dia ngecek kepada anaknya yang sekolah di De Britto, benarkah saya melaksanakan apa yang saya tulis,” ungkap penyandang nama lengkap Stefanus Kartono tersebut (halaman 127).

Kesimpulannya, sebagai guru yang menulis ia mau terus belajar jujur. Setiap hal yang ia tulis bersumber dari pengalaman sehari-hari atau itulah yang akan segera ia perbuat. Jadi bagi Kartono menulis adalah “perjanjian” dengan pembaca dan sewaktu-waktu bisa ditagih. Ia pun menyadari dirinya bukan orang yang sempurna. Kendati demikian, ia tetap berkewajiban mengobarkan nilai adiluhung. Komposisi tulisan Kartono selalu 80:20. Artinya, 80% realitas dan 20% merupakan cita-cita ideal.

Kuat dalam Kelemahan

Masih dari dunia pencerdasan kehidupan bangsa, penulis juga mengisahkan pergulatan Agust Dapa Loka (51 tahun). Guru dari NTT tersebut tetap menulis meski infeksi tulang menyiksa. Pasca kecelakaan lalu lintas yang dialaminya pada 14 Juni 2009 silam, tiada hari tanpa rasa sakit. Kerapkali ia tak bisa tidur semalaman. Kalau sudah begitu, istrinya ikutan begadang sampai pagi sembari memijat kaki suami tercinta.

Biasanya sakit tak terperi muncul karena Agust terlalu capai. Tapi karena tuntutan ekonomi keluarga, ayah 3 anak tersebut harus bekerja ekstra keras. Bahkan ia sampai melebihi jam kerja orang normal. Sebagai Guru SMA Katolik Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur, NTT, Agust harus berada di sekolah sejak pukul 07.00 sampai 14.30 WITA. Pada hari-hari tertentu, ia juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC atau pembawa acara untuk resepsi pernikahan.

Sepulang sekolah, jika tidak ada undangan nge-MC ia membuka laptop untuk menulis. Agust baru saja menyelesaikan sequel kedua novelnya yang berjudul “Perempuan itu Bermata Saga”. Bagian pertama telah diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada akhir Maret 2011 silam. Menurut pengakuan penulis, Agust ialah pria bermata saga juga. Kenapa? Karena ia berani melawan sakit dan berhasil “mengalahkannya”. Dalam kelemahan Agust menjadi kuat.

Intinya dalam novel tersebut Agust melukiskan kekaguman pada kekuatan seorang perempuan. Fakta tersebut terepresentasikan dalam diri sang istri. Dalam situasi sakit akibat amputasi dan infeksi nyeri tulang kaki,  istrinya tetap merawat Agust dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Kendati demikian, sang istri tidak abai melakukan tugas-tugas ibu rumah tangga lainnya.

Berkat novel tersebut, Agust mendapat penghargaan NTT Academia Award 2011 untuk kategori humaniora. Novel Perempuan itu Bermata Saga sudah terbit tapi kaki kanannya yang dipotong persis 5 sentimeter di atas lutut belum kunjung sembuh. Terkait dengan kondisinya tersebut, Agust berkata lirih, “Saya pasrah saja. Semoga Tuhan segera mengirim kesembuhan itu. Sebab untuk operasi lagi, tak mungkin. Biayanya sangat mahal. Puluhan juta. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu?” (halaman 141).

Masih ada 18 kisah inspiratif orang-orang hebat lainnya yang niscaya mengundang decak kagum. Mereka semua berkecimpung lintas sektoral dengan beragam profesi. Mulai dari Franciscus Welirang (Bergerilya Kampanye Ketahanan Pangan), Hanordy Boentario (CEO ini Mantan Guru TK), Zuhairi Misrawi (Tekadnya Menaklukkan Kemiskinan), Dewa Bujana (Karena Gitarku adalah Hidupku), Gerson Poyk (Ketika Sastrawan Gelisah tentang Indonesia), Vincentius Kirjito (Sang Semangat dari Lereng Merapi), Aloysius Moeller (Menebus dan Menembus Kemiskinan), dll.

Tiada gading yang tak retak, begitu pula buku ini. Banyak kesalahan ketik. Jadi kalau hendak dicetak ulang perlu disunting secara lebih teliti lagi. Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 223 halaman ini merupakan sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Akhir kata menyitir pendapat R. Priyono, Mantan Kepala BP Migas, “Karakter Sukasrana adalah karakter pahlawan yang tidak dikenal, yang bekerja untuk orang lain tanpa pertimbangan “jual-beli”. Dia tidak peduli bahwa dengan pengabdian itu, namanya semakin kecil sementara nama orang lain menjadi kian besar. Dengan diluncurkannya buku ini semoga makin banyak “orang hebat” meski tidak dikenal tapi terus mengabdi…” Selamat membaca!

1377924596505265975

Manfaat Senam Otak sebelum Belajar

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/31 Agustus 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/08/31/235261/Manfaat-Senam-Otak-sebelum-Belajar

SEMANGAT belajar siswa dapat didongkrak lewat metode senam otak (brain gym). Ekspe­ri­men ini telah diterapkan oleh Ke­lompok Brain Gym di Amerika Se­rikat, Kanada, Inggris, Aus­tralia, dan Selandia Baru. Prin­sip­nya se­derhana tapi mendalam, yakni ge­rakan merupakan pintu masuk be­lajar siswa.

Penelitian tersebut melibatkan 52 anak dari kelas Pendidikan Pe­nyan­dang Disabilitas. Kelompok Brain Gym memperlihatkan sepaket urutan ge­rakan dan diikuti oleh sebagian besar siswa difabel. Sementara sebagian siswa lainnya hanya melakukan gerakan sembarang, selama kurang lebih tujuh menit.

Tanggap visual dari semua siswa diuji sebelum dan sesudah melakukan gerakan-gerakan. Ternyata anak-anak yang melakukan gerakan senam otak, waktu tanggapnya meningkat, sedangkan kelompok yang melakukan gerakan sembarangan, tidak (Guruchiter Kaur Shalsa and Josie M Sifft: 1989).

Gerakan Silang

Salah satu contoh gerakan brain gym yang bisa dilakukan ber­sa­ma sebelum memulai pelajaran ialah cross crawl alias gerakan silang. Dalam latihan sederhana ini, siswa secara bergantian menggerakkan kaki dan tangan yang berlawanan, mirip seperti gerak jalan di tempat da­lam latihan baris-berbaris. Alangkah lebih meriah kalau diiringi dengan musik yang ceria. Tujuannya untuk mengaktifkan hubungan kedua sisi otak kiri-kanan agar dapat bekerja secara bersamaan dan harmonis saat belajar.

Secara lebih terperinci, Dr Paul Dennison yang telah bekerja selama 20 tahun dalam bidang behavioral optometrists (terapi penglihatan berorientasi pada perilaku dan penglihatan) menandaskan bahwa gerakan silang (cross crawl) merangsang bagian otak yang menerima informasi (receptive) dan juga bagian yang mengungkapkannya (expressive) sehingga proses belajar menjadi lebih terintegrasi.

Masih banyak teknik senam otak lainnya, antara lain putaran leher, pernafasan perut, membayangkan huruf X, lambaian kaki, luncuran gravitasi, tombol imbang, dan lain-lain. Simak gambar dan manfaat gerakan-gerakan tersebut dalam buku Brain Gym cetakan 2006, Gramedia Pustaka Utama. Walau hanya membutuhkan waktu sebentar sebelum memulai proses belajar, senam otak dapat meningkatkan kecakapan membaca, berpikir, memahami, menulis, dan kesadaran diri siswa. (24)

1377911561955695812
Sumber Foto: www.binaural-brainwaves.com

Agustus 28, 2013

Karya Kemanusiaan Romo Carolus di Kampung Laut

Dimuat di SESAWI.NET, Rabu/28 Agustus 2013
http://www.sesawi.net/2013/08/28/karya-kemanusiaan-romo-carolus-di-kampung-laut/

Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3
Harga: Rp 45.000

“Bagian dari pendidikan yang diperhatikan sekali oleh Romo adalah masalah budi pekerti, ulet menghadapi kehidupan, survive, dan kejujuran. Romo paling tidak senang dengan orang yang tak jujur. Dia senang orang yang berjuang!” (Tentang Romo Charles “Charlie” Patrick Edward Burrows OMI, halaman 31)

Tatkala Romo Carolus pertama kali datang ke Kampung Laut pada 1973 silam, Pak Markus masih dalam kondisi berkabung. Kenapa? Karena 4 dari 12 anaknya baru saja meninggal dunia. Mereka mengidap penyakit parah dan tak sempat tertolong lagi. Anak-anak Pak Markus disinyalir terserang demam tinggi.

Saat itu puskesmas, klinik, atau dokter yang semestinya hadir di setiap pelosok desa memang belum ada. Kalau warga membutuhkan pertolongan medis mereka harus ke kota. Perjalanannya  membutuhkan waktu 1,5-2 jam menyebrangi lautan. Itu pun hanya mungkin bagi penduduk yang mampu membayar sewa kapal dengan dana tak sedikit.

Selain itu, ombak di Kampung Laut juga bisa tiba-tiba meninggi. Bahkan daerah tersebut dianggap “angker” karena dahulu merupakan sarang perompak. Kendati demikian, Pak Markus menjadi saksi bagaimana Romo Carolus setia membantu kaum miskin di sana. Bahkan ia yang semula masih berduka cita turut tersengat semangat Romo yang satu ini.

Pendirian Romo Carolus sederhana tapi mendalam, “Seluruh masyarakat harus dapat memberdayakan hidup masing-masing. Tidak perlu menunggu orang lain untuk membantu atau meringankan hidup kita.” Beliau juga percaya bahwa Tuhan telah memberi segala kemudahan agar manusia bisa memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-hari asal mau bekerja.

Tak sekadar beretorika, Romo Carolus langsung memberi contoh dan terjun langsung ke lapangan. Ia menanami lahan-lahan yang ada. Sedangkan, hasil laut diolah menjadi ikan asin sehingga harganya lebih menguntungkan nelayan. Selain itu, Romo Carolus juga menggelar program bulgur. Sejenis bubur kering yang kandungan gizinya sangat tinggi.

Makanan semacam itu memang sangat diperlukan masyarakat Kampung Laut yang notabene masih mengalami kekurangan gizi  (halaman 12). Mekanisme pembagian bulgur diatur oleh pihak RT. Satu keluarga rata-rata mendapat 20-25 kg bulgur. Setiap seminggu sekali bulgur tersebut dibagikan.

Alhasil, tanah yang semula masih berupa rawa-rawa bisa diurug secara bergotong-royong. Tanah yang diambil untuk reklamasi dari sekitar Pulau Nusakambangan yang luas itu. Romo Carolus memantau sendiri proses tersebut. Kini 1100 KK atau sekitar 4.800 jiwa masyarakat Kampung Laut bisa menikmati hasil tetes keringat mereka sendiri.

Siapakah Romo Carolus? Sebab ibarat kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Beliau dilahirkan di Serville Palace, kota kecil yang tak jauh dari Dublin, Irlandia. Di lingkungan tempat tinggalnya, ia biasa dipanggil Patrick. Ia anak keempat dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows yang terlahir pada 8 April 1943 silam.

Setibanya di Indonesia, pelayanan Romo Carolus lewat Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) tidak hanya membangun jalan, membuat bendungan, beternak ayam, bebek, kelinci, kambing, dll tapi juga di bidang pendidikan. Uniknya, sekolah-sekolah Katolik yang dikelola YSBS juga menerima murid dari berbagai agama dan kepercayaan.

Sebagian besar sekolah yang dikelola Romo Carolus berlokasi di kawasan yang mayoritas Muslim. Untuk itu, beliau meminta kiai setempat menyediakan guru agama Islam dengan biaya dari yayasan. Tatkala banyak orang bertanya kenapa ia memiliki kebijakan inklusif seperti itu? Romo Carolus menjawab, “Saya sendiri masih merasa belum terlalu Katolik. Katolik saya masih 20%. Jadi, saya tidak berani untuk mengajak orang lain ikut beragama Katolik.” (halaman 33).

Kedekatan Romo Carolus dengan umat Muslim membuatnya disebut “Kiai Carolus”. Suatu ketika ada kelompok yang menyerbu sekolahnya. Tapi ternyata yang membela justru para santri dari pesantren di sekitar lembaga pendidikannya. Romo Carolus pun berkomentar santai, “Silakan menentang sekolah saya. Sebab, kalau terus ditentang justru membuat semakin banyak anak mau sekolah di sini.”

Hingga kini, total ada 25 sekolah dari segala tingkatan yang dikelola YSBS. Romo Carolus juga bercita-cita mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten Cilacap. Selain itu, beliau juga hendak mendirikan sekolah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (halaman 34).

Buku setebal 180 halaman memuat kisah-kisah nyata yang menggetarkan. Saat Anjar  Anastasia pertama kali bertemu Romo Carolus, beliau mewanti-wanti sekali untuk tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Beliau ingin, karya dan pencapaiannya saja yang dituliskan. Ahmad Syafii Maarif pun dalam kata pengantar menyebut Romo “Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat. Selamat membaca!

Agustus 24, 2013

Mengintegrasikan Hati, Pikiran dan Tangan

Dimuat di Jateng Pos, Minggu/25 Agustus 2013

Judul: The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah
Penulis: A. Mintara Sufiyanta, SJ
Editor: Indah Sri Utami
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-979-21-3532-9

“Kunci bagi semua hal adalah kesabaran. Anda mendapatkan ayam dengan menetaskan telur bukan dengan memecahkannya.” (Arnold Glaslow, halaman 22).

Suatu hari seorang guru muda memberi tugas kepada para muridnya di kelas. Mereka diminta untuk menulis sebuah esai. Topiknya ialah andai aku menjadi perabotan rumah tangga, aku ingin menjadi perabotan apa dan mengapa aku ingin menjadi perabotan tersebut?

Salah satu murid paling pandai di kelas itu menulis demikian: Di antara semua perabotan itu, aku paling ingin menjadi televisi. Sebab, dengan menjadi televisi, kedua orang tuaku akan lebih sering melihatku. Mereka jadi mau memperhatikan aku. Mereka juga akan mendengarkan aku dengan lebih saksama.

Bahkan mereka sampai berkata kepada yang lain agar menutup mulut tatkala aku sedang berbicara. Mereka tidak akan menyuruhku keluar dari kamar. Mereka tidak akan menyuruhku pergi tidur di tengah-tengah permainan atau saat aku sedang asyik mengerjakan apa yang aku sukai. Sebagaimana mereka tidak akan pernah pergi tidur sampai seluruh program televisi usai.

Kisah tersebut penulis kutip dari buku Parables and Fables for Modern Man Vol. IV karangan Peter Ribes, SJ (1991). A. Mintara Sufiyanta, SJ membacanya di perpustakaan di Kandy, Srilanka ketika retret. Pengalaman menyentuh si anak itu termaktub dalam subbab bertajuk, “The Boy and The TV Set”.

Lantas, Rohaniwan Jesuit yang bekerja sebagai Direktur Yayasan Kanisius-Pendidikan Cabang Jogjakarta tersebut membagikan materi di atas kepada beberapa orang tua, guru dan dosen. Pudji Tursana asal Jakarta mengungkapkan komentar pasca membacanya, “Merasa kasihan dan berbela rasa untuk anak itu. Rasanya banyak anak kini yang ingin jadi televisi.”

Di zaman modern ini memang banyak anak haus perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Banyak anak ingin didengarkan omongannya. Banyak anak ingin dipahami dunia bermainnya. Banyak anak ingin menjadi prioritas dan mendapatkan porsi waktu yang memadai dari orang tua di rumah. Hal senada juga diidamkan oleh para murid di sekolah. Banyak murid ingin mendapatkan semuanya itu dari gurunya.  

Grace Triyani, seorang ibu sekaligus guru SMA di Tangerang berkomentar dari sudut pandang orang tua dan pendidik, “Itulah sifat dasar manusia. Seorang yang keras hatinya sekalipun kalau diberi perhatian yang tulus dari orang lain pasti akan luluh juga. Oleh karena itu, menghadapi anak yang sulit (dalam sikap) penyelesaiannya hanya satu, yaitu berikan dia perhatian yang tulus terus-menerus, pasti dia akan berubah.

Saya sudah membuktikannya. Kenapa? Karena manusia mempunyai hati nurani. Ketulusan dan kesetiaan untuk terus-menerus meneteskan kasih dan perhatian ialah kuncinya. Sekeras apa pun pribadi seorang anak, di kedalaman dirinya ada sebutir mutiara jiwa manusia bernama hati nurani.” (halaman 15).

Lewat buku ini, penulis juga memaparkan cara membumikan semangat belarasa di era digital dalam konteks pendidikan. Intinya perlu ada integrasi antara hati (heart), pikiran atau kepala (head), dan tangan (hands). Moderator SMA Loyola Semarang (2004-2006) tersebut menemukan inspirasi menarik dari sebuah berita elektronik (www.sjapc.net). Isinya pidato Romo Mark Raper, SJ dalam Simposium Internasional ke-31 bertema “Education with a Social Dimension: the Challenges of Globalization” di Sophia University, Tokyo, Jepang pada 10 Desember 2011 silam.

Romo Mark Raper menekankan pentingnya berpikir kritis dan refleksi guna melahirkan belarasa. Pertama berpikir kritis, misalnya untuk mempertanyakan apa akar penyebab korupsi di republik ini? Kedua refleksi, pendidikan seharusnya menunjukkan kepada siswa/mahasiswa di mana letak hati mereka berada. Sehingga dapat memfasilitasi generasi muda tumbuh sebagai pribadi dewasa yang mampu berbicara dan bertindak secara benar dan dilambari integritas.

Selain itu, generasi penerus bangsa tersebut siap sedia membantu sesama yang lemah, tertindas, dan terpinggirkan. Sebab, mereka menemukan kebahagiaan sejati lewat pemberian diri dan pelayanan sosial. Dalam konteks ini, keteladanan ialah cara paling efektif untuk mengajarkan nilai keutamaan hidup. Oleh sebab itu, orang tua di rumah dan para guru/dosen di sekolah/universitas harus mempraktikkan kesadaran tersebut. Sehingga dapat menjadi contoh nyata di depan mata anak-anak dan para siswa/mahasiswa. Senada dengan petuah Mahatma Gandhi, “My life is an experiment with truth.” (Hidupku merupakan eksperimen dengan kebenaran).

Sistematikanya, buku ini terdiri atas 2 bagian pokok. Pertama, “To Live is To Love, Bapakku, Guru Hidupku,” berisi pengalaman penulis merasa dicintai orang tua di rumah. Biasanya seorang anak lebih dekat dengan ibunya. Tapi Asisten Direktur Strada Jakarta (2007-2009) tersebut lebih banyak berinteraksi dengan sang ayah. Misalnya diuraikan dalam “Mencarikan Ikan,” “Berdoa dalam Keluarga,” “Wayang dan Diplomasi Bakso,” dan “Soto Pak Joyo.” Total ada 15 kisah nyata dan refleksi pribadi.

Kedua, “To Teach is To Touch, Guruku, Teladan Hidupku,” berisi pengalaman penulis merasa dikasihi para guru di sekolah. Kepala SMP Kanisius Jakarta (2009-2011) itu membatasi sejak masih duduk di bangku SD Cimpon III sampai lulus SMP Kanisius, Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Antara lain dikisahkan dalam “Pengabdian Penuh Cinta,” “Menyanyi dan Deklamasi,” “Penyemangat Belajar,” dan “Menulis Rapi.” Total ada 15 pengalaman unik.

Tiada gading yang tak retak, begitupula buku bersampul gambar terompet sangkakala ini. Penulis hanya membatasi pengalaman bersekolah dari SD sampai SMP. Alangkah lebih komplit kalau ia menceritakan juga dinamika pembelajaran di SMA dan Perguruan Tinggi. Sehingga lukisan mozaik kehidupannya menjadi kian utuh.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 174 halaman ini sebuah oase segar di tengah padang gersang dunia pendidikan nasional. Bahasanya mengalir lancar, sederhana, dan mudah dipahami. Layak menjadi referensi bagi siapa saja yang peduli pada amanah pencerdasan kehidupan bangsa. Ternyata anak-anak dan para siswa/mahasiswa tak membutuhkan guru/dosen dan orang tua hebat, mereka sekadar membutuhkan pribadi biasa yang memiliki hati dan setia menemani sepanjang perjalanan hidup terutama di saat-saat sulit.  Sebab menyitir petuah Napoleon Hill, “Manusia tidak dapat mengubah tempat di mana ia mulai melangkah, tapi ia bisa mengubah arah yang dituju.” Selamat membaca dan salam pendidikan!



Agustus 23, 2013

Catatan Kreatif Yoris Sebastian

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/24 Agustus 2013

Judul        : Yoris Sebastian’s 101 Creative Notes
Penulis     : Yoris Sebastian
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan    : IV/ April 2013
Tebal        : 207 halaman
ISBN        : 978-979-22-9114-8

Suatu hari kami sedang shooting 13 episode untuk ditayangkan di sebuah stasiun TV swasta. Sedianya pada saat episode Andra and The Backbone shooting di Jembatan Balerang, kami sudah berusaha keras mendapatkan izin menutup dan membuka jembatan selama shooting berlangsung. Tapi apa mau dikata, pagi-pagi awan sudah hitam sehitamnya. Sebentar lagi terasa akan turun hujan.

Saya berangkat dari hotel dengan perasaan was-was. Kalau sampai diundur, berapa biayanya? Apakah Andra and The Backbone bisa? Jangan-jangan sudah ada kontrak lagi. Saya cuma bisa berdoa. Minta yang wajar, supaya bisa shooting walau langit sangat gelap. Tapi apa yang terjadi? Pelan tapi pasti, langit menjadi biru sebirunya (halaman 203).

Begitulah testimoni Yoris Sebastian dalam buku ini. Prinsip hidup juara International Young Creative Entrepreneur of the Year Awards 2006 dari British Council di London tersebut sederhana tapi mendalam, “Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.” Artinya seberapa kuatnya kita berupaya tapi pada akhirnya semua ditentukan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, pemecah rekor MURI untuk program Destination Nowhere di tahun 2003 itu selalu memohon berkat dari Tuhan. Sehingga niat baik yang ia lakukan bisa berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang.

Focus on impact alias fokus pada dampak menjadi jurus kreatif lainnya. Pendiri OMG Consulting pada tahun 2007 tersebut mencetuskan istilah Gen Flux. Intinya, tidak peduli jabatan kita apa, tidak peduli pengalaman kita apa, selama kita memberikan impact yang luar biasa, lakukanlah! Ironisnya, dewasa ini orang masih suka dengan pertemuan rutin (routine) padahal baginya impact adalah yang terpenting. Ia selalu fokus pada impact dari sebuah proyek.

Misalnya, saat memberi pelatihan hidup kreatif, setiap presentasi tujuannya bukan untuk menunjukkan Yoris Sebastian bagus tapi untuk memberikan value yang terbaik bagi peserta seminar atau workshop tersebut. “Berikanlah ilmu kreatif kita 100% kepada orang lain, niscaya kita akan terus dapat ilmu kreatif yang baru,” tulisnya di halaman 187 dengan tajuk Good Karma.

Sistematika buku ini terdiri atas 101 catatan kreatif General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat berusia 26 tahun (GM termuda kedua di dunia). Mulai dari pemikiran, pengamatan, tindakan, mengajarkan ke orang lain sampai pada akhirnya perasaan pribadi dan tentu ditutup dengan doa syukur kepada Tuhan, Sang Maha Kreatif. Judulnya sebagian besar menggunakan bahasa Inggris antara lain “Have a Good Sleep”, “A Broad Perspective”, “Watch Inspiring Movie”, “Tenacity”, “Listen”, “Initiate Conversation”, dll. Pada setiap halaman genap tersaji pula foto, gambar, ilustrasi, dan kata-kata mutiara. Sehingga tatkala pembaca menikmati buku ini, niscaya otak kiri dan kanan sama-sama terpuaskan.

Penerima penghargaan dari Markplus untuk program musik mingguan rancangannya, I Like Monday ini juga membuka kartu rahasia untuk konsisten kreatif dan sukses. Ternyata investasi termahal pertamanya bukan mobil melainkan kasur. Kenapa? Karena sadar atau tidak sadar sepertiga dari hidup kita di dunia ini dihabiskan di tempat tidur.

Lazimnya, manusia tidur sekitar 8 jam dalam sehari. Naik mobil saja belum tentu seperempat atau seperenam waktu hidup manusia. Jadi ia lebih mementingkan kasur ketimbang mobil. Dengan kasur yang luar biasa nyaman, tidur jadi lebih berkualitas. Penelitian mutakhir juga membuktikan bahwa tidur yang cukup juga berimbas ke peningkatan kreativitas (halaman 23).

Selanjutnya, peraih penghargaan Indonesian Young Marketers Awards 2003 dari Indonesian Marketing Association itu mengutip pula tesis Jose Mourinho, pelatih baru The Blues Chelsea, “Pemain bola yang hebat tidak akan bisa sukses kalau dia hanya belajar sepak bola.” Oleh sebab itu, penulis juga belajar melukis, memotret, dan graphology. Bukan untuk menjadi ahlinya tapi sekadar menambah keterampilan dan memperkaya kreativitas diri.

Buku setebal 207 halaman yang telah mengalami cetak ulang keempat ini sebuah inspirasi positif bagi segenap anak negeri. “Saya hanya ingin lebih banyak orang yang sukses karena kreatif seperti para pembaca buku saya yang pertama, Creative Junkies,“ tulis pemenang tingkat regional, Asia Pacific Entrepreneur Awards 2008 untuk kategori Most Promising tersebut. Selamat membaca dan salam kreatif!

13773219961714881473

Agustus 15, 2013

Habis Malas Terbit Kreativitas

Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Agustus 2013

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: II/Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000

“Tujuan pendidikan ialah menghasilkan orang kreatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang baru.” - Jean Piaget (halaman 213).

Memang idealnya seperti tesis di atas. Tapi ironisnya di Indonesia sistem persekolahan justru membonsai kreativitas siswa. Wahyu Aditya bersepakat dengan pendapat Sir Ken Robinson, seorang anggota komite pemerintahan yang fokus mengurusi bidang kreatif, kultur, dan edukasi di Inggris. Ternyata hampir semua sistem pendidikan di muka bumi memiliki struktur yang sama. Tak peduli itu di negara maju, berkembang, ataupun terbelakang sekalipun.

Hierarki mata pelajaran teratas adalah Matematika, baru kemudian menyusul ilmu-ilmu humaniora (kemanusiaan), dan yang paling bawah adalah Kesenian. “Tidak ada satu pun sistem pendidikan di planet ini yang mengajarkan menari setiap hari untuk anak-anak sebagaimana kita mengajarkan mereka Matematika bukan?” (halaman 4). Pendiri Hello Motion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa lebih tersebut melihat bahwa Matematika memang penting, tapi menari juga sangat bermanfaat bagi perkembangan psikomotorik anak didik. Kenapa? Karena manusia memiliki tubuh, bukan sekadar otak.

Sebelumnya, juara dunia British Council Young Creative Entrepreneur 2007 ini juga menceritakan pengalamannya tatkala masih duduk di bangku SMUN 3 Malang. Saat itu, ia hanya menyukai dua mata pelajaran, yakni Kesenian dan Jam Kosong! Pelajaran Kesenian adalah kesempatan baginya untuk belajar kesenian. Jam Kosong merupakan kesempatannya untuk melatih lagi pelajaran kesenian yang telah diajarkan oleh gurunya. Tapi bukan berarti pelajaran lain tidak penting, ia sekadar mengingatkan jangan sampai diskriminasi terhadap pelajaran Kesenian terus berlangsung. Sampai saat ini, resminya untuk mata pelajaran Kesenian hanya tersedia dua jam per minggu.

Lewat buku “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” ini, seniman desain dan aktivis animasi tersebut menyampaikan “manifesto”-nya, “Pendidikan Kesenian bagi saya memiliki banyak manfaat, antara lain memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapat, berani mengekspresikan imajinasi, melatih berfikir kreatif, membina rasa sensitivitas, melatih ketrampilan, dan sebagainya. Pelajaran Kesenian bukan sekadar mempelajari cara menggambar yang benar, tetapi bagi saya belajar seni seperti belajar “memanusiakan” manusia.” (halaman 3)

Sistematikanya, buku ini terdiri atas 17 butir pencerahan kreativitas. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” “Tetap Gembol Selalu,” “Monoton, No Way!” dll. Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain karyanya agar bisa dibaca tanpa perlu dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca boleh membukanya secara acak (random). Sampul depannya pun dapat diputar dan dilipat. Penulis menyediakan ruang kosong agar sidang pembaca bisa merancang cover sendiri dengan sekreatif mungkin.

Inspirasi dari Pete

Penggagas HelloFest, salah satu festival Pop Culture terbesar di Indonesia yang setiap tahunnya menyedot lebih dari 20.000 penonton ini juga menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi London melalui program British Council Indonesia. Menurut Wahyu Aditya, ada 5 syarat agar sebuah kota dapat menyedot perhatian para pelancong dari segala penjuru dunia.

Pertama,
ikonik. London identik dengan topi pak polisi nan unik. Bentuknya hitam menyembul ke atas. Gambarnya bisa disimak di halaman 90. Banyak orang tergiur untuk membeli topi tersebut sebagai cindera mata. Andai polisi di Indonesia meniru metode tersebut, tentu bisa membuat citra institusi kepolisian menjadi lebih cair, tidak kaku, dan menarik. Selain itu, bisa saja suatu saat polisi di Jakarta merancang topi yang berbentuk Monas. Gambarnya bisa dilihat di halaman 91.

Kedua
, jadul tapi eksis. Banyak turis di London berebutan agar bisa berfoto dengan penjaga istana Buckingham. Itu merupakan warisan budaya jadul yang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Bukankah di Indonesia ada begitu banyak kerajaan dari Sabang sampai Merauke? Bagaimana kalau raja-raja tersebut kini mulai berbenah diri dan mempromosikan kerajaannya dengan fokus mempercantik kemasan. Sejauh ini, baru kota Yogyakarta yang berhasil mengaplikasikan konsep tersebut sebagai paket wisata yang memorable (selalu dikenang).

Ketiga, branding gaul. Salah seorang temannya di Inggris selalu mengenakan kaus bertuliskan “Underground”. Simbolnya membentuk lingkaran bergaris tebal dengan warna merah menyala, typography-nya pun tegas. Simak gambar logo tersebut di halaman 97. Semula penulis menyangka itu simbol pergerakan musik punk rock independen. Tapi ternyata “Undergound” mengacu pada alat transportasi kereta bawah tanah di London. Kalau di Indonesia ya seperti PT. Kereta Api (PT. KAI).

Orang muda di sana begitu bangga dan merasa trendi memakai kaus berlogo “Underground”. Bahkan tidak hanya dalam bentuk t-shirt, simbol tersebut juga merambah ke jenis pakaian lainnya seperti jaket, hoodies, tas hingga celana dalam. Alhasil, itu bukan lagi sekadar logo transportasi kereta api, tapi sudah menjadi entitas budaya masyarakat London.

Keempat, es campur. London bagaikan es campur yang beragam isinya. Sehingga kalau diminum rasanya unik dan menarik, slurrrrppppppps!! Pada awalnya penulis mengaku merasa was-was saat kali pertama menginjakkan kaki di London. Terutama karena terkait citra miring terhadap umat Muslim di mata masyarakat Inggris. Sebab beberapa tahun silam pernah terjadi peledakan bom oleh teroris. Korbannya 50-an orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Tapi gambaran negatif itu sirna seketika tatkala ia menghadiri acara Eid in Square, sebuah acara akbar menyambut Idul Fitri bagi umat Muslim di sana. Penyelenggaranya The Muslim Council of Britain dan didukung 100 persen oleh Pemerintah Kota (Pemkot) London. Bahkan angkutan umum pun ikut berpartisipasi memeriahkan suasana dengan iklan-iklan bertema Muslim yang ramah, “Proud to be a British Muslim, Islam is peace…” (halaman 103) (Bangga menjadi Muslim Inggris, Islam ialah Kedamaian…)

Kelima, ya kuno ya canggih. Menurut pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 ini kalau kita berjalan-jalan di kota London, banyak sekali gedung-gedung zaman baheula yang masih terawat dengan baik. Para turis pun asyik merekam keeksotisan liuk tubuh konstruksi jadul tersebut. Mereka tak perlu repot mencari latar untuk berfoto ria. London berhasil memadukan kekunoan dan modernisasi. Bangunan-bangunan bercita rasa milenium bersanding mesra dengan gedung-gedung jadul.

Salah satu bangunan milenium unik di London bernama “Cucumber Building”. Bentuknya seperti torpedo yang siap meluncur ke angkasa. Gedung Timun tersebut  menjadi  tempat favorit para wisatawan untuk bernarsis ria. Di Indonesia kita juga memiliki beragam jenis sayuran dan buah-buahan. Penulis mengusulkan bagaimana kalau pemerintah membangun “Gedung Terong,” “Gedung Buah Merah,” atau “Gedung Pete.” Rancangan visualnya bisa dilihat di halaman 108.

Buku setebal 302 halaman ini niscaya merangsang pembaca untuk menemukan ide kreatif dalam keseharian ziarah hidup. Di tengah inflasi harga sembako pasca kenaikan harga BBM, hanya semangat kreatiflah yang bisa menjadikan republik ini lebih berwarna dan kaya penemuan terobosan. Sebab menyitir tesis Julia Cameron, “Kreativitas seperti layaknya kehidupan manusia itu sendiri, selalu dimulai dalam kegelapan.” Selamat membaca dan salam kreatif!


Agustus 11, 2013

Lebaran dan Apresiasi terhadap Keberagaman

Dimuat di Jateng Pos, Senin/12 Agustus 2013

Kamis (8/8/2013) pekan lalu umat Islam di seluruh Indonesia serempak menyambut Idul Fitri pada 1 Syawal 1434 H. Pasca menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh, saudara-saudari Muslim merayakan kemenangannya atas kemelekatan duniawi dan hawa nafsu.

Dalam konteks masyarakat Jawa, istilah “Lebaran” lebih sering digunakan. Kendati demikian, dari aspek linguistik tidak banyak keterangan baku untuk menjelaskan arti kata “Lebaran”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “lebaran” berarti hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan sebelumnya (Ramadan).

Selain itu, besar kemungkinan istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar” (sudah selesai). Artinya, sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata “bar” sendiri merupakan singkatan dari kata “lebar” yang sinonim dengan “selesai”. Dari aspek linguistik, akhiran “an” dalam bahasa Jawa memang sering ditambahkan pada  kata kerja. Misalnya, asal kata “bubar” yang diberi akhiran “an” menjadi “bubaran” yang umumnya menjadi bermakna jamak.

Secara lebih mendalam, kata “bubar” sendiri merupakan bentuk populer dari kata “lebar”. Seperti diketahui bahasa Jawa mengenal tingkatan bahasa (ngoko, kromo madyo, kromo inggil). Kata “bubar” dan “lebar” maknanya sama. Kendati demikian, “bubar” digunakan oleh masyarakat awam sedangkan kata “lebar” dipakai oleh para bangsawan sebagai istilah yang lebih halus (baca: sopan).

Ibarat kata pepatah, lain ladang lain belalang, lain Jawa lain pula Betawi (Jakarta). “Lebaran” oleh masyarakat Betawi dianggap berasal dari kata “lebar”. Artinya “luas”, yakni sebagai analogi keluasan hati atau kelegaan jiwa usai sukses menuntaskan ibadah puasa Ramadan. Selain itu, juga sebagai luapan kegembiraan dan rasa syukur karena bisa berkumpul dengan sanak saudara dan para handai taulan.

Ironisnya, saat opini publik ini ditulis, baru saja terjadi teror bom di Vihara Ekayana Jalan Mangga I Nomor 8 RT 08/08 Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Minggu (4/8/2013) sekitar pukul 19.30 WIB. Ledakan tersebut melontarkan banyak gotri dan mengakibatkan tiga orang korban. Padahal tidak ada ajaran agama dan kepercayaan manapun yang membenarkan aksi kekerasan semacam itu. Sungguh-sungguh telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan.

Data dari The Wahid Institute, tahun 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah tersebut meningkat 18% dari tahun sebelumnya, 62 kasus. Bahkan, pada medio Mei 2012, PBB melansir Indonesia sebagai negara yang kehidupan beragamanya rawan konflik.

Maya Safira Muchtar, penggagas Islamic Movement for Nonviolence (Gerakan Umat Islam Anti Kekerasan) berpendapat, “Apakah yang ada dibenak para teroris ketika mereka membom vihara di Jakarta tadi malam? Apakah benar dengan cara membom permasalahan akan terselesaikan? Apakah membom vihara akan membawa kedamaian? Tapi memang bukan kedamaian yang mereka inginkan. Seharusnya kita harus bersikap seperti orang-orang di Australia. Mereka dengan tegas mengusir orang radikal yang mengganggu ketertiban umum dan berulah di negara mereka.”

Dalam konteks ini, pendidikan budi pekerti sungguh menemukan relevansinya. Yakni untuk bisa mengapresiasi keberagaman suku, agama, ras, antar golongan (SARA). Australia menjadi satu dari 10 negara yang memiliki tingkat kriminalitas terendah. Sebaliknya, Indonesia justru rawan menjadi negara gagal dengan tingkat tindak kekerasan berkedok agama berada di no. 3 dunia.

Menurut Rhenald Kasali pendidik di Australia lebih khawatir jika murid mereka tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati kepada orang lain yang berbeda, dan nilai-nilai keutamaan (virtue values) lainnya ketimbang anak didik mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Kalkulasi matematisnya sangat logis, untuk calistung atau menaikkan nilai akademik (grade) hanya perlu waktu 3-6 bulan. Tapi untuk mendidik karakter (watak) dan budi pekerti seorang anak butuh waktu minimal 15 tahun. Para pelaku tindak kekerasan berkedok SARA tidak lahir kemarin sore, mereka merupakan “buah” dari metode pembelajaran yang satu arah, cenderung dogmatis dan fanatis di ruang kelas.

Multikultural

Oleh sebab itu, Lebaran bisa juga menjadi peristiwa budaya multikultur. Warga Gamelan Kampoeng of Tolerance Jogjakarta memiliki tradisi unik. Walau para warga Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut memeluk agama dan kepercayaan yang beragam tapi semangat guyub rukun agawe santosa tetap lestari.

Dalam konteks ini, semboyan Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa bukan sekadar mantra suci namun sungguh dipraktikkan. Warga nonmuslim menjaga keamanan kampung sehingga para tetangganya yang beragama Islam dapat menunaikan ibadah sholat Id secara khusyuk. Lalu, paska sholat Id mereka bermaaf-maafan, bersilaturahmi dan mengadakan jamuan makan sederhana yang disediakan secara swadaya.

Benedict Anderson menyatakan bahwa “toleransi” sejatinya merupakan sifat asasi wong Jawa. Istilah tersebut mulai populer sejak api nasionalisme berkobar di zaman kolonial Belanda. Sebelumnya, para sosiolog menyebut sikap kelapangan hati tersebut dengan istilah “sinkretisme Jawa”.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘toleransi’ sendiri berarti sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya soal agama, ideologi, suku, ras, golongan, dll.

Sehingga sikap mau menang sendiri yang kerap dilakukan ormas berkedok agama tapi dalam praktiknya menggunakan cara-cara kekerasan jelas bertentangan dengan ajaran universal setiap agama dan kepercayaan yang mengutamakan perdamaian batin, kasih terhadap sesama, dan harmoni dengan semua (inner peace, communal love, and global harmony).

Secara lebih mendalam, ‘toleransi’ pun musti dimekarkan menjadi “apresiasi”. Istilah apresiasi  mulai dipopulerkan oleh Anand Krishna, Ph.D. Tokoh humanis lintas agama nusantara tersebut mengajak kita berani mengatakan bahwa my religion is not better than yours (agama/kepercayaanku tak lebih baik dari agama/kepercayaanmu). Sebab ibarat sungai-sungai yang membelah kota Jogjakarta, toh semuanya bermuara di Laut Kidul (Segara Kidul).

Banyak jalan satu tujuan, jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, perbedaan juga modal dasar kita untuk bisa maju bersama. Konkritnya seperti apa yang telah dirintis warga Gamelan Lor dan Kidul di Kota Gudeg. Semoga semangat inklusif ini menular juga ke segenap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Akhir kata, membangun keharmonisan peri kehidupan beragama dan berkeyakinan memang perlu dilakukan secara sadar, intensif dan terpadu. Caranya lewat gotong-royong melibatkan segenap komponen bangsa. Baik pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan lembaga pendidikan. Kepada saudara-saudariku umat Muslim, selamat Lebaran 1 Syawal 1434 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin…

1376285295917001536
Sumber Foto: http://bambangkendari.blogspot.com/2012/03/damai-itu-indah.html

Agustus 10, 2013

Merawat Kebiasaan Kreatif

Dimuat di Jateng Post, Minggu/11 Agustus 2013

Judul: Top Words, Kisah Inspiratif dan Sukses Orang-orang Top Indonesia
Penulis: Billy Boen
Penerbit: B-first Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xviii + 194 halaman
ISBN: 978-602-8864-78-7
Harga: Rp49.500

Every big step starts with an inch (Setiap langkah besar dimulai dengan langkah kecil.” (Halaman 174).

Begitulah rahasia sukses Yoris Sebastian yang dibeberkan dalam buku ini. Pendiri OMG (Oh My Goodness) Creative Consultant tersebut tekun melatih kreativitas lewat hal-hal kecil. Misalnya kalau terbiasa menyimpan HP di saku kiri celana, pindahkan saja ke saku kanan. Rasa janggal karena tidak terbiasa tersebut niscaya memicu lahirnya gagasan kreatif. Sehingga tatkala diminta berkreasi dan membuat sebuah inovasi, kita bisa memikirkan sesuatu yang unik dan tidak berkubang dalam rasa takut.

Menurut mantan General Manager di Hard Rock Café tersebut pada dasarnya anak manusia terlahir kreatif. Tapi kita malas merawat kebiasaan kreatif (creative habit). Solusinya dengan start small (mulai dari yang kecil). Ia menceritakan pengalamannya sendiri. Saat duduk di bangku kelas 2 SMA Pangudi Luhur, Jakarta, Yoris pernah membuat sebuah acara  bertajuk “PL Fair”. Uniknya, ia dan teman-teman panitia membuat panggung hanya dari meja-meja yang disusun rapi. Lalu diatasnya dilapisi tripleks dan ditutupi dengan terpal. Jadi dari segi biaya sangat murah (low budget).

Buku ini juga memuat pengalaman empatik Noni Purnomo. Vise President Business Development Blue Bird Group tersebut memiliki prinsip unik. Mbak Noni percaya bahwa respek itu harus dilakukan 360 derajat. Artinya, kita harus respek kepada siapa pun. Padahal kebanyakan orang hanya respek kepada orang yang posisinya lebih tinggi atau lebih tua dari segi usia. Di dalam proses perekrutan karyawan Blue Bird, salah satu yang dinilai ialah sikap baik (good attitude). Kalau ada seorang melamar jabatan manajer tapi terlihat arogan di depan para sopir taksi, orang tersebut tak akan direkrut oleh Mbak Noni.

Hebatnya, ia memberi teladan dalam mengormati orang lain di lingkungan kantor. Walau kini Mbak Noni membawahi 270.000  karyawan di Blue Bird Group. Setiap melihat pengemudi yang sedang menunggu di depan lobi, Mbak Noni selalu tersenyum dan menyapa duluan. Ia tak pernah terus berjalan dan berpura-pura tidak melihat. “Kita harus respek orang berdasarkan kejujuran dan ketulusannya, bukan karena jabatannya.” (halaman 131).

Tips praktis untuk bersikap respek ialah dengan memulai dari diri sendiri. Kalau seseorang tak peduli pada dirinya mulai dari hal kecil seperti kerapian dalam berpakaian, bagaimana ia bisa berharap orang lain peduli padanya? Berpakaian rapi dan good attitude (sikap baik) merupakan kombinasi untuk meningkatkan wibawa. Mbak Noni banyak belajar dari Obama, walau Presiden Amerika Serikat itu masih tergolong muda, tapi beliau memiliki aura kepemimpinan. Karena pandai membawa diri dan memulai percakapan yang berisi. Dalam konteks ini, menjaga penampilan dan menambah pengetahuan menjadi penting.

Sistematika buku ini terdiri atas 21 bab. Isinya saripati percakapan Billy Boen dengan para tokoh muda sukses dalam program “Young On Top Live” di KIS FM 95.1 sejak 11 November 2009 hingga Desember 2011. Direktur PT Jakarta International Management (JIM) dan CEO PT YOT Nusantara tersebut menegaskan bahwa kalau mau maju, kita jangan melulu belajar dari pengalaman sendiri, tapi juga harus mau dari pengalaman orang lain. Memang bukan berarti copy and paste, toh dengan mempelajari kisah hidup orang sukses, pembaca bisa menimba sumber inspirasi perubahan.

Pemegang saham Rolling Stone Café Jakarta tersebut sengaja memilih anak-anak bangsa yang telah sukses dan berkontribusi positif bagi negeri. Ia tak memaparkan perjalanan sukses orang-orang TOP dari Amerika atau Eropa. Karena kadang kalau menyuguhkan kisah tokoh-tokoh dari luar negeri terlintas pemikiran, ”Ya mereka bisa seperti itu karena kebijakan pemerintahnya mendukung. Kalau di Indonesia tak bisa seperti itu.” Oleh sebab itu, Billy menghadirkan kisah perjuangan ke-21 orang Indonesia yang impact-full, mereka berhasil mengharumkan nama Ibu Pertiwi.

Paulus Panggabean salah satunya.  Head of  F and B Division MRA Group tersebut pernah melanglang buana bekerja sebagai bartender di kapal pesiar. Dengan posisi yang ia emban saat itu, kehidupannya terbilang mewah. Gajinya pun relatif besar. Tapi baginya yang terpenting buka uang tapi bagaimana terus mengembangkan karir. Sementara banyak orang betah bekerja di kapal pesiar selama 10-15 tahun, Paulus memutuskan hanya bekerja 2 tahun. Ia keluar dan memilih kembali ke Indonesia.

Prinsip hidup Paulus lainnya ialah being open-minded. Ketika menerima kritik cobalah untuk menelaah masukan tersebut. Lakukan introspeksi apakah kritik tersebut benar atau tidak. Kalau ternyata benar berubahlah. Tapi kalau setelah berpikiran terbuka hasil introspeksi menyimpulkan kritikan itu salah, anggap saja angin lalu. Hal ini tak hanya belaku secara personal tapi juga secara organisasional. Banyak perusahaan terhambat perkembangannya karena enggan menerima ide dan pemikiran baru. Mereka lebih memilih sistem yang telah berjalan puluhan tahun. Padahal dunia terus berubah sehingga sistem tersebut tak lagi relevan dengan konteks sekarang. Paulus meyakini adagium, “Pikiran manusia hanya bisa berfungsi optimal ketika terbuka lebar layaknya parasut.”  (halaman 145).

Buku setebal 194 halaman ini membuka wawasan pembaca temukan terobosan baru raih sukses kehidupan. Bahasanya sederhana mengalir lancar dan mudah dipahami. Akhir kata, menyitir pendapat Calvin Kizana, CEO PT Elasitas Multi Kreasi, “Jangan pernah berhenti belajar. Jangan pernah membatasi diri. Tantanglah diri sendiri untuk menjadi lebih baik setiap hari.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia)

1376191965683664851

Smartly Dealing with the 2013 Curriculum

Published by ASPENSI.COM – August 9, 2013
Posted in: Views http://aspensi.com/views/2013/08/09/0925/2245000-smartly-dealing-with-the-2013-curriculum

The government has changed the national curriculum in this new academic year (2013-2014). The main reason because of the KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan or Curriculum Education Unit) was considered too much for the students. In this context, I cannot agree more with the opinion of Prof. Dr. Djamaludin Ancok, “If it is too many materials, we just should revise the Curriculum Education Unit or KTSP. Therefore, we do not need to change the entire curriculum.”

Moreover, in my humble opinion the education curriculum relies on the teachers’ quality. Since the teachers are the main actors in the nation education transformation. Even after Hiroshima and Nagasaki were bombed and destroyed in World War II, the Emperor of Japan spontaneously asked, “How many teachers we have left?” It means that the progress of a nation is in line with the quality of teachers in the education sector (Anand Krishna, 2008).

Ironically, IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan or Teachers’ Training College) for the teacher candidates has been closed. In 2013 it has been 24 years of the elimination of SPG (Sekolah Pendidikan Guru or Teachers’ Education School) and 17 years after IKIP was changed into merely common university.

According to Darmaningtyas, an education activist from Taman Siswa, the SPG and PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar or Teacher Education for Elementary School ) closures was the insistence of the World Bank since the World Bank considered that the alumni of Teachers’ Education School and the Teachers’ Training College were not having good teaching skills and lack of the mastery in basic science locus.

Therefore, related to the changed of the national, the government must conduct an intense training for more than 7 million teachers who are educating our future generations from Sabang to Merauke in Indonesia. By holding a training course, so the educators are able to effectively teach in their respective subject areas.

In the next two decades as a result, the ability of cognitive, affective, and psychomotor of the students can develop more optimal. It is in line with the thesis of William W, “Mediocre teacher is teaching. Superior teacher demonstrates his/her superior authority. Good teacher explains a complicated lesson in a simple way. Great teacher inspires!”

Inspiring

The next important question is how to inspire the students in the class? I will answer with a story. Johnny is a guy with a mental disability. Nevertheless, he continues to work at one of the supermarket at the rural area in United States. Diligently he put the grocery items of customers in the recycled bag. He stands right behind the cashier spot.

His perseverance, honesty, and warm friendliness bring admiration within the customers. As a result, the supermarket is always full of shoppers. Why the customers are so interested? While he put the grocery items of customers in the recycled bag, Johnny also put in a piece of colorful paper mentioning some inspirational words.

He writes those inspirational words at home. Then, he brings the colorful papers while he is in duty. Gradually, the customers feel there is something within that inspires them after shopping at the supermarket. Johnny managed to share the spirit and carve unforgettable memories to the customers.

Indeed, the simple example above caused a significant impact. Therefore I apply also after learning English in extracurricular lesson at the Canisius Sleman, Yogyakarta Junior High School (JHS) every Saturday. There is always a closing aphorism after the lessons are ended. For example, the words of wisdom from Plato (427-347 BC), “Be kind, because everyone you meet is fighting a hard battle.” Then the students perceive it together.

Interestingly, at a time there was one of the students suggested a brilliant idea, “Sir, how if at every traffic light stops was fitted with some aphorisms too?” As a result, the public spaces are not just filled with some ads and – borrowing a phrase from Sumbo Tinarbuko – visual garbage, but also exhibiting the values of life virtue.

I am amazed with my student’s idea, but of course the authority that has the capability to impose it. At least, we can begin to put the inspirational words in the classroom. It is in line with the opinion of Aesop, “No act of kindness, no matter how small, is ever wasted”.

From Beta to Alpha

According to research of Hans Berger in 1924, human brain waves can be used to detect the brain hemorrhage such as mental disorders, epilepsy, stroke, and even brain cancer. That famous German neurologist jotted down the wave of the human brain in a piece of paper.

He was using radio equipment to amplify the electrical impulse of a million nerve cells in human brain. It was such a device is the forerunner of EEG or Electro Encephalo Graph (Munif Chatib, 2013).

The finding is beneficial especially related with the learning process in the classroom. In delta state (0.5 to 3.5 Hz) is not a perfect time to learn since it is during a sleep period without dreams. There is no way of a teacher to teach in front of the disciples who were asleep, isn’t it?

Next, theta waves (3.5-7 Hz) is a condition of sleeping and dreaming. In this period, a bedtime short story finds its relevance and significance. According to Taufiq Pasiak, fairy tales presented in an interesting and undoubtedly sincere way will be memorized by the children until they are growing up since the fairy tales became the first memory that is downloaded by the unconscious mind when the our beloved baby started to sleep.

The question is when the right time to learn? It is in the alpha waves (7-13 Hz) since in this condition the student can be relaxed and alert at the same time. Their nerve cells in the brain are in a state of harmony, meaning that the electrical impulses are firing simultaneously (compact) as well at the rest time (relaxation).

Last but not least, beta waves (13-25 Hz) are happened when the road conditions are so crowded. It can arise anger, annoyance, and stress and so on. This is reflected by the phenomenon of children who speak for themselves, obstreperous, reluctant to listen, running around in the classroom, and showing a hostile facial expression. If we are the teacher insist to continue the learning process, it is certainly in vain.

Therefore, what’s the solution? Restore from the beta brainwaves into alpha condition. We can do this by providing some additional stimulus such as ice breaking activity, game, singing, fun storytelling, music, brain gym, magic show, etc.

Finally, what is the indicator that our beloved students are ready to learn again? When they show a happy face with two beautiful sparkling eyes, their lips curving the sweetest smile, and even they are laughing cheerfully. This is the right time to continue the learning process. Happy teaching!

1376120242109807125
Source: http://choirulmahfud.blogspot.com/2012/12/pro-kontra-kurikulum-2013.html#.UgXtH6C_7IU

Agustus 06, 2013

Refleksi Kependidikan Gokil ala Pak Guru J. Sumardianta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia versi Cetak, edisi Agustus 2013

Judul        : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis    : J. Sumardianta
Penerbit    : Bentang Pustaka
Cetakan    : 1/April 2013
Tebal        : xiii + 303 halaman
ISBN        : 978-602-7888-13-5

“Guru medioker kerjanya ngomong. Guru superior kerjanya mendemonstrasikan kewibawaan. Guru terpuji kerjanya menjelaskan perkara rumit dengan cara simpel. Guru hebat kerjanya menginspirasi.” - William W (halaman 3).

Buku ini ditulis berdasarkan refleksi selama 20 tahun menjadi guru. Sejak 1996 hingga kini, J. Sumardianta melihat masalah utama dalam dunia pendidikan nasional bukan melulu soal kesejahteraan, tapi lebih karena absennya spirit dan keteladanan. Banyak guru sudah memiliki sertifikat pendidik dan memiliki tunjangan tapi toh transformasi dalam diri masih sebatas dari mediocre teacher menjadi superior teacher.

Guru medioker sepanjang hari berbicara di depan kelas. Proses pembelajaran guru tipe ini tidak mengindahkan kecerdasan anak didik. Karena justru siswa yang harus menyesuaikan dengan gaya mengajar sang pendidik. Selain itu, karakter guru medioker bersifat instruksional, kerjanya hanya menyuapi murid (spoonfeeding). Alhasil, murid dididik menjadi bermental pecundang (loser).

Sedangkan guru superior ingin menunjukkan kewibawaannya di hadapan para murid. Kalau dalam dunia kampus namanya dosen killer. Pendidik model ini cenderung mengandalkan otoritas. Selain itu, mereka pun gila hormat, selalu minta diperhatikan murid/mahasiswa. Alhasil, anak didik menjadi penakut dan tak berani mengekspresikan dirinya (halaman xi).

Selanjutnya, guru terpuji. Memang ia mampu menyampaikan materi rumit dengan cara sederhana. Guru model ini membuat ngeh dan mudeng para muridnya karena piawai simplify complex things. Administrasi pengajarannya pun relatif bagus. Tapi ternyata ia masih berpusat pada diri sendiri. Selain itu, ia juga masih terpancang pada materialisme kurikulum yang kaku.

Terakhir tapi penting guru hebat, kerjanya tak lain untuk menginspirasi. Ia sadar sepenuhnya bahwa hanya memiliki satu mulut dan dua telinga. Oleh sebab itu, ia belajar menjadi pendengar yang baik. Pusat kegiatan belajar-mengajar adalah murid. Kurikulum diolah dan disajikan sesuai kebutuhan murid. Guru hebat mendidik murid bermental driver.

Artinya apa? Anak didik bermental driver (pengemudi) memiliki tujuan tidak sekadar menumpang hidup (passenger) di alam semesta ini. Ia mau keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan struktur yang menindas. Alhasil, murid mau mengatasi segala ketakutan, berani mengambil risiko, dan selalu menantang diri sendiri untuk berkontribusi lebih bagi sesama dan segenap titah ciptaan.

Sistematikanya, buku ini terdiri atas 8 bagian. Mulai dari “Pengantar Penulis,” “Kacamata Sang Pendidik,” “Sosok,” “Alam Adalah Guru,” “Hidup Untuk Menghidupi,” “Jendela Ilmu,” “Sekolah Bukan Rumah Kaca,” dan “Berkah Guru Kecanduan Buku.” Menurut Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta ini, bahan bakunya tak lain semua yang ia lihat, rasakan, dan alami selama menjalani profesi sebagai tenaga pendidik. Sebagian besar artikel kependidikan Pak Guru Sumardianta telah dimuat media nasional.

Keunikan cara penyampaian pesan fasilitator pelatihan guru di Yogyakarta, Solo, Ponorogo, Semarang, Sukabumi, Jakarta, Malang, Surabaya, Dili, Makassar, dll ini terletak pada gaya story telling-nya. Sidang pembaca dan pendengar (bila dalam training) seolah didongengi, sehingga tidak ada kesan menggurui, padahal sejatinya kita sedang belajar nilai-nilai kehidupan.

Misalnya ayah 3 putri ini hendak menyampaikan pesan betapa penting sinergi antara guru dan orang tua dalam mendidik generasi penerus bangsa. Ia bercerita dengan begitu menarik di halaman 3-4. Nadia melihat putrinya menangis sepulang sekolah sambil menenteng tas biola. Anak berumur 8 tahun tersebut sedih karena gurunya meniadakan pelajaran musik di kelas. Semalaman Nadia merasa dongkol, sewot, dan memendam amarah. Ia tidak bisa tidak memikirkan kekecewaan putrinya. Sang ibu bertekad hendak mencaci-maki guru putrinya tersebut.

Keesokan harinya, Nadia berusaha menenangkan diri. Ia memutuskan untuk mencari tahu apa persisnya yang terjadi di sekolah sebelum menyerapahi guru. Nadia menemui sang guru sebelum pelajaran dimulai. “Putri saya mencintai biola. Saya ingin tahu kenapa anak-anak todak boleh berlatih biola di sekolah lagi?” tanya Nadia. Sang guru malah sesenggukan dan menangis. “Tidak ada waktu lagi untuk musik. Kita harus menghabiskan seluruh waktu untuk belajar membaca dan berhitung. Ini sudah menjadi ketetapan pemerintah,” ujarnya terbata-bata.

Lantas, Nadia menawarkan solusi, “Pasti ada cara agar anak-anak bisa belajar musik sekaligus membaca dan matematika!” Sang guru berpikir sesaat dan menjawab, “Bukankah musik itu matematis? Bagaimana kalau pelajaran berhitung dasar disampaikan melalui musik?” Sontak Nadi dan guru tersebut tertawa ceria dan bersalaman karena telah menemukan jalan keluar.

Singkat cerita, Nadia mengajukan diri sebagai relawan di kelas putrinya. Bersama sang guru, ia mengajarkan semua pelajaran menggunakan musik. Murid belajar bilangan pecahan tidak hanya dengan angka tapi juga dengan not balok. Dua perdelapan not sama dengan seperempat not. Selain itu, membaca puisi pun lebih mudah karena dinyanyikan. Pelajaran sejarah menjadi lebih hidup. Kenapa? Karena anak-anak tersebut mempelajari para komposer besar dan kondisi zaman mereka hidup serta memainkan musik gubahannya. Anak-anak bahkan belajar bahasa asing dengan menyanyikan lagu-lagu dari pelbagai negara dari seluruh penjuru dunia.

Buku setebal 303 halaman ini ibarat oase segar di tengah padang gersang dunia pendidikan nasional yang melulu mengejar angka (grade) tanpa memperhatikan nilai (value). Padahal esensi ziarah kehidupan anak manusia ialah untuk memuji, meluhurkan, dan memuliakan-Nya. Sepakat dengan pendapat Andy F. Noya, “Guru Gokil Murid Unyu buku lucu, bahasanya ringan tapi isinya mendalam.” Selamat membaca!

1375846276291156076

Agustus 04, 2013

Peran Signifikan Pemain Keduabelas

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/4 Agustus 2013

Kegigihan, loyalitas, dan antusiasme pemain ke-12 di Timnas Garuda patut diacungi jempol. Tatkala kompetisi liga domestik bergulir – entah itu LPI atau LSI – kelompok suporter yang bertanding kadang memang saling bersitegang. Tapi tatkala Tim Nasional – baik U-21, U-23, ataupun Senior – berlaga, sontak seluruh pendukung bersatu di bawah panji Sang Saka Merah Putih. Lagu “Indonesia Raya” pun berkumandang menembus sekat-sekat pemisah.

Kebangkitan sepakbola nasional harus dimulai dari persatuan segenap elemen suporter. Sebab, pendukung Timnas Garuda bukan kumpulan para birokrat atau simpatisan partai politik tertentu yang dengan segala cara memanipulasi demi memuaskan syahwat korupsi.

Artinya, setiap pecinta Timnas merupakan bagian tak terpisahkan dari keluarga besar orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tentu keberagaman gaya dan tingkah laku eksis dan mewarnai proses dinamisasinya. Kendati demikian, semua itu lumrah dan bahkan dari kemajemukan niscaya tercipta sokongan nan kokoh.

Pengorbanan

Masih lekat dalam ingatan pembaca ihwal kisah heroik Reno Suharto Alpino Arena, bukan? Alpin tewas mengenaskan terinjak-injak suporter lainnya tatkala hendak menonton laga Semifinal Sea Games XXVI pada 2011 silam. Saat itu, Timnas U-23 Indonesia tengah bertanding kontra Malaysia di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Padahal kali pertama itu saja Alpin menonton sepakbola secara langsung (live). Tapi siapa sangka justru menjadi malam terakhir bagi additional drummer band DOT tersebut.

Penulis sekadar merefleksikan perjuangan almarhum Alpin. Karena menyiratkan betapa besar cinta dan pengorbanan para suporter di Indonesia. Bahkan nyawa pun sampai melayang demi menyaksikan Timnas berlaga. Semoga ini menyadarkan para petinggi dan elit politik di PSSI untuk menyudahi conflict of interest. Kenapa? karena justru menimbulkan kebingungan pecinta sepakbola, sama sekali tak berguna, dan menyebabkan langkah mundur belaka.

Kembali ke topik awal ihwal suporter Timnas. Kita ialah kumpulan individu yang berinteraksi secara intensif dan masif. Semua murni berdasarkan kecintaan pada Merah Putih, rasa kekeluargaan tanpa pamrih, serta rasa senasib-sepenanggungan sebagai sesama anak bangsa.

Kendati demikian, pada hemat penulis kebersamaan ini juga menuntut tanggung jawab. Sehingga perlu ada pengaturan sedemikian rupa sehingga dapat lebih terukur (measureable) keberhasilannya. Misal dari segi pendataan anggota, kas keuangan, rutinitas kegiatan, maupun manajerial organisasi. Di tengah derasnya arus teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), kita suporter Timnas Garuda mesti memiliki website resmi. Sehingga para pendukung Timnas Merah Putih dapat bertukar informasi terkini, berbagi semangat perubahan, dan menyampaikan kritik konstruktif terkait kemajuan bersama.

Akhir kata, selama ini pendukung Timnas suatu negara memang terlahir secara independen. Yakni sebagai kumpulan suporter dari tim-tim domestik yang berlaga di kancah domestik. Sepakbola memang permainan kolektif sekaligus sarana efektif mengharumkan nama bangsa (nation pride) di kancah Asia Tenggara, Asia, dan bahkan dunia. Bravo Timnas Garuda!

1375664632732890532
Sumber Foto: http://suporter-indonesia.blogspot.com/

Agustus 02, 2013

Mengasah Kreativitas lewat Musik

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/3 Agustus 2013
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/08/03/232978/Mengasah-Kreativitas-lewat-Musik

KREATIVITAS siswa dapat diasah lewat permainan perkusi sederhana. Eksperimen semacam itu sempat dilakukan di Kelompok Bermain (KB) dan TK Islam Permata Iman 2, Malang oleh Rinanda Cahyawati. Mahasiswi S1 Program Studi Pendidikan Guru PAUD tersebut merancang penelitian tindakan kelas (PTK) unik.

PTK terdiri atas dua siklus. Masing-masing memiliki 4 tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan (tindakan), observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelompok B yang berjumlah 15 anak. Metode pengumpulan data melalui lembar observasi aktivitas siswa selama proses kegiatan pembelajaran dan dokumentasi foto.

Ternyata, hasil penelitian menunjukkan kegiatan bermain perkusi sederhana dapat meningkatkan kreativitas musikal siswa. Peningkatan kreativitas sebesar 51%. Bahkan keberhasilan yang diinginkan tercapai pada siklus kedua, yakni rata-rata 78%.

Keceriaan

Menurut para ilmuwan di Jepang, musik merupakan sarana ampuh bagi siswa untuk mengekspresikan perasaannya. Bukan berarti mereka harus ahli memainkan satu alat musik tertentu, tapi yang penting musik dapat membawa keceriaan tatkala seorang anak secara positif terlibat dalam mengekspresikan pedalaman jiwanya (Music Wonderland, 2006).

Selain itu, tak ada salahnya para guru dan orang tua meluangkan waktu sejenak dengan anak-anak. Mereka bisa menikmati pengalaman bersama mendengarkan musik tertentu. Karena selama ini kita terjebak dalam rutinitas tuntutan kurikulum, sehingga cenderung terburu-buru dan tak sempat menikmati kebersamaan.

Erwin Gutawa bukan nama asing di belantika musik nasional. Pria kelahiran Jakarta, 16 Mei 1962 tersebut adalah seorang musisi hebat. Selain pemain musik, ia juga composer, arranger, conductor konser-konser megah.

Ternyata sejak kecil, Erwin sudah dikenalkan dengan aneka jenis musik oleh orang tua dan para gurunya. Pengalaman tersebut membuat Erwin kian cinta musik. Ia telah banyak melahirkan karya dalam berbagai genre musik. Dari mulai rok, keroncong, melayu, jaz, klasik, sampai pop.

Permainan musik sederhana memang dapat meningkatkan kreativitas musikal anak. Tentu harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah masing-masing. Sedikit sharing, penulis acap kali menggunakan lagu untuk belajar bahasa Inggris. Kami menciptakan liriknya bersama-sama, ”We are smart students, happy and diligent, have high self confidence!” (Kami murid yang cerdas, ceria dan rajin, punya kepercayaan diri tinggi!)

Sebagai instrumen, jangan dibayangkan seperti konser, kami sekadar menggunakan tepuk tangan, akapela dan hentakan kaki. Sungguh mudah menerapkan metode musikal jika ada kemauan dan sedikit kreativitas. (24)