Maret 31, 2013

"Nilai Baik" Siswa

Dimuat di Majalah Utusan edisi April 2013

13647992282009172835


Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur


Judul : Guruku Panutanku
Penulis : Sigit Setyawan
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : xii + 134 halaman
Harga: Rp25.800

Guru hebat tak hanya mengajar ilmu di kelas, tapi juga dapat meningkatkan kualitas personal para siswanya. Begitulah hipotesis awal penulis sebelum mengadakan penelitian sebagai prasyarat kelulusan dari Program Magister Pendidikan, UPH, Jakarta. Buku “Guruku Panutanku” ini memaparkan temuannya di IPEKA International Christian School Jakarta (SMA IICS) pada 2011 silam.

Dalam riset tersebut, guru bidang studi Fisika, Kimia, dan Ekonomi ternyata mampu menjadi panutan bagi para muridnya. Padahal selama ini ketiga bidang studi tersebut dianggap sebagai momok yang menakutkan. Kendati demikian, keteladanan dan empati  sang guru kepada anak didiknya menjadi faktor pembeda utama di sini.

Pak Haryo, 35 tahun, telah mengajar selama 13 tahun. Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir beliau mengampu mata pelajaran Fisika di kelas X dan XII di SMA IICS. Bagi Pak Haryo, yang terpenting siswa mengembangkan talenta mereka. Tidak harus semua siswa cemerlang di pelajarannya. Bagi siswa yang kurang dalam pelajaran Fisika, Pak Haryo menentukan target bahwa yang penting siswa tersebut dapat memenuhi kriteria skor minimum.

Hal ini membuat murid merasa lega dan tak terbebani oleh mata pelajaran Fisika. Menurut Amanda, Fisika memang biasanya tak disukai oleh para siswa karena rumus-rumus dan hitungannya yang rumit. Namun karena Pak Haryo sering menyisipkan cerita-cerita dalam pelajaran tersebut, maka pelajaran menjadi menarik dan menyenangkan (halaman 32).

Dalam kata pengantar, Paul Suparno SJ pun menegaskan, “Guru dapat berperan besar dalam mengembangkan dan bahkan mengubah tingkah laku murid yang dibimbingnya. Guru bukan hanya dapat membantu murid mengembangkan pengetahuan kognitifnya, tetapi juga mampu membantu murid mengembangkan “nilai baik” sehingga semakin tumbuh menjadi pribadi yang utuh.”

Dari segi metodologi, Sigit Setyawan, pria kelahiran Temanggung 23 Agustus 1976 tersebut menjadikan teori kognitif sosial Albert Bandura sebagai acuan, “Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective” Annual Review of Psychology (2001). Selain itu, buku ini relatif kaya referensi ilmiah. Beberapa diantaranya ialah Identity Youth and Crisis, edisi ke-2 (1968), Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow yang diterjemahkan oleh S. Supratiknya (1987), Educating the Net Generation: How to Engage Students in 21st Century (2007), dll. Daftar pustaka lengkapnya dapat disimak di halaman 131-134.

Akhir kata, penulis bersepakat dengan tesis Dr. F. Budi Hardiman, Dosen Program Magister Pendidikan UPH, “Guru bukan sekadar pemasok data ke dalam otak murid. Lewat buku ini  penulis membuktikan bahwa guru adalah contoh hidup yang membentuk karakter dan nilai-nilai dalam hati murid, bahkan ketika guru itu sendiri tidak dengan sengaja melakukannya. Buku ini ikut memperkaya literatur tentang pendidikan karakter pada sekolah-sekolah kita.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd).

Bebaskan Anand Krishna, Aktivis Perdamaian Dunia dari Indonesia

Keadilan Bagi Yang Berhak. Mendukung Pembebasan Anand Krishna—Tokoh Spiritual Aktivis Lintas Agama dan Aktivis Perdamaian Dunia dari Indonesia

Dibuat oleh
Jane H. Indonesia

Ditujukan kepada:
Pemerintah Indonesia, Mahkamah Agung

Kenapa saya menggugah dan mengajak Anda untuk mendukung petisi ini?

Anand Krishna sudah dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pelecehan seksual yang dialamatkan padanya, dan sudah diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang dipimpin oleh hakim paling jujur se-Indonesia, Albertina Ho.

Albertina Ho, hakim wanita yang berani dan berintegritas ini, sama sekali tidak menemukan satu pun bukti tindakan asusila yang dituduhkan kepada Anand Krishna. Pada tanggal 22 November 2011 Hakim Ho memutus bebas penulis produktif dan pelopor gerakan apresiasi terhadap keberagaman di Indonesia ini, beliau juga memerintahkan pemulihan martabat dan hak-haknya sebagai warga negara seperti sedia kala.

Namun, Mahkamah Agung (MA) justru menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara terhadapnya. Dalam hal ini Majelis Hakim MA telah tidak menggunakan instrumen hukum sebagai sarana melindungi dan memuliakan kebenaran dan keadilan, tapi sebaliknya sewenang-wenang mencederai kedua nilai tersebut dan menginjak-injak hak asasi manusia (HAM).

Sebelumnya sidang perkara Anand Krishna dipimpin oleh Hari Sasangka. Proses pengadilan berjalan timpang dan sangat janggal. Yang terjadi adalah menghakimi tulisan, buku-buku, dan pemikiran Krishna terkait toleransi beragama dan pluralisme ketimbang berupaya membuktikan tuduhan Tara Pradipta Laksmi yang mengaku telah dilecehkan oleh mentor spiritual tersebut.

Sebagai oknum penegak hukum Sasangka dengan sengaja melanggar hukum dengan menjebloskan penulis 160-an buku itu di penjara Cipinang sebelum ada keputusan hukum tetap. Tindakan anti keadilan-kebenaran yang dilakukan Sasangka diprotes keras Anand Krishna dengan melakukan aksi mogok makan selama 49 hari dan diliputi media cetak di dalam dan luar negeri serta media online.

Hari Sasangka digantikan oleh Albertina Ho atas rekomendasi Komisi Yudisial (KY). Tindakan KY ini berdasarkan laporan tim pengacara Anand Krishna beserta bukti-bukti kuat bahwa Hari Sasangka telah ber-indehoi dengan salah satu saksi pihak Tara Pradipta Laksmi bernama Shinta Kencana Kheng.

Tidak senang dengan keputusan Ho dan sengaja menabrak pasal 244 KUHP, Jaksa Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Padahal pasal 244 KUHP terang benderang menyatakan bahwa vonis bebas tidak bisa dibawa ke MA, karena terdakwa telah dibebaskan dan dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan pada tingkat di bawahnya.

Tak lama setelah membebaskan Krishna, Hakim Ho yang dikenal tak kenal kompromi walau dalam mengadili Gayus Tambunan, petugas pajak yang korup dan juga Jaksa nakal Cirus Sinaga sekalipun, beliau dipindahkan ke pelosok di kepulauan Bangka sana.

Dengan berlindung di balik peraturan Menteri tahun 1983 yang menyatakan bahwa putusan bebas di pengadilan yang lebih rendah bisa dikasasi ke MA dengan alasan demi “kondisi tertentu, hukum, keadilan, dan kebenaran” jaksa membawa kasus Anand ke Mahkamah Agung (MA). Padahal peraturan menteri jelas lebih rendah ketimbang putusan hukum berkekuatan tetap. Kendati demikian, pada akhir Juli 2012, MA membatalkan keputusan bebas dari Albertina Ho atas Anand Krishna, mereka menjeratnya dengan pasal 294 KUHP.

JPU Martha Berliana Tobing telah dengan jelas melanggar dan menabrak rambu-rambu hukum. Dan, MA sebagai benteng tekahir yang melindungi keadilan dan kebenaran malah membenarkan tindakan JPU.

Tanpa sidang umum, majelis Hakim Agung yang terdiri dari Zaharudding Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul mengabulkan kasasi illegal dan menghukum Anand Krishna 2,5 tahun penjara. Putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat pada pasal 197 ayat 1 huruf d, f, h dan l.

Di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut juga mencantumkan kasus orang lain di pengadilan tinggi Bandung (perebutan kasus merek) namun Anand Krishnalah yang dihukum penjara atas kasus orang lain.

Sekarang Anand Krishna mendekam di Lapas Cipinang menjalani hukuman yang seharusnya kasus tersebutlah ada batal demi hukum. Beliau sekarang dibungkam dibalik jeruji dan sebetulnya yang dikriminalisasi adalah pemikirannya.

Mari kita gaungkan keprihatinan Sacha Stone dan mengikuti sikapnya untuk mendukung upaya pembebasan Anand Krishna. Sacha adalah orang asing, pendiri Humanitad, sebuah organisasi sosial di London yang membaktikan diri untuk mengkampanyekan toleransi antar budaya, lintas agama di seluruh dunia. Tuan Stone menyatakan: “Ketika hukum disalahgunakan, ketika integritas mereka yang bertanggung jawab menegakan hukum terjebak kepentingan pribadi, maka merupakan tanggung jawab semua orang merdeka untuk bahu-membahu berjuang mempertahankan kebebasan manusia yang paling hakiki. Upaya terbuka dan transparan oleh pihak ketiga yang independen dan tak memihak untuk meninjau ulang keputusan ini. Kiranya begitu jelas tak ada seorang pun yang berpendapat bahwa putusan MA terhadap Anand Krishna itu adil, transparan, tak memihak, dan independen.”

Berikan dukungan Anda di:


atau


Terimakasih banyak dan salam peduli keadilan!
13647845761992855050

Maret 30, 2013

Mengajak Berpikir Sehat dalam 140 Karakter

Dimuat di Jawa Pos, Minggu/31 Maret 2013

13647957412065890988
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur

Judul: Dua Tangis Sejuta Damprat
Penulis : Aris Darmawan
Kata Pengantar: Dahlan Iskan
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: Ke-3/Februari 2013
Tebal: xxxiv + 178 halaman
ISBN: 978-602-02-0161-0
Harga: Rp 39.800,-

“Jagalah hati dengan puisi, jangan jaga hati dengan posisi.’“- Dahlan Iskan (halaman 8)

Buku ini menyadarkan keampuhan mikro blogging bernama twitter.com. Berkat percakapan kicauan Dahlan Iskan lewat @iskan_dahlan dengan Jevri @in_yourlife pada akhir Mei sampai awal Juni 2012 silam, Dahlan dapat membantu Jevri mengubah hidup.

Kaki kanan Muhamamad Jevri (15 tahun) berhasil diamputasi pada Selasa (5/6/2012) di RS Bayangkara Bengkulu. Sebelum pelaksanaan operasi, Menteri BUMN tersebut menelpon Jevri, Dahlan mengatakan, “Sabar Jevri. Masih ada orang yang tak punya kaki bisa menjuarai lomba lari. Tetap semangat jalani hidup!”

Sebelumnya pada 21 Oktober 2010, Jevri mengalami patah tulang kaki kanan saat bermain sepak bola. Lalu, keluarganya membawa Jevri ke seorang tabib. Ia mendapat pengobatan alternatif dengan dikompres baluran jahe.

Tapi alih-alih membaik, kaki Jevri justru kian bengkak dan melepuh. Lama-kemalamaan timbul borok pula di kaki kanannya itu. Karena kondisi Jevri makin parah, ia diajak ke dokter. Ibarat mendengar petir di siang bolong, dokter menyarankan agar kaki tersebut segera diamputasi agar infeksi dan pembusuakan tidak melebar ke sekujur tubuh.

Tak siap kehilangan satu kakinya, bocah yang dulu bercita-cita menjadi pemain bola tersebut kembali melakukan pengobatan alternatif. Selama 1,9 tahun Jevri diterapi secara nonmedis. Sekilas kondisi kakinya terlihat membaik, tapi daging pada kaki kanannya yang membusuk pelan-pelan mulai rontok.

Pihak keluarga memutuskan untuk membawanya ke dokter lagi. Tapi kali ini mereka tak punya biaya untuk berobat dan amputasi. Ayah Jevri pedagang sayur di pasar tradisional, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga.

Hebatnya, walau kondisi kritis Jevri tak kehabisan akal, ia bergerilya meminta bantuan lewat akun twitter @in_yourlife. Jevri mengirim tak kurang dari 239 tweet ke para konglomerat dan pejabat di Indonesia.

Pada 1 Juni 2012 kebetulan ia me-mention @iskan_dahlan. Mantan Dirut PLN itu kemudian merespon dan menanyakan alamat rumah Jevri. Dahlan lantas menelpon dan memotivasi anak tersebut. Keesokan harinya, dua karyawan Koran Rakyat Bengkulu melihat langsung kondisi kaki kanan Jevri sebelum dibawa ke Rumah Sakit (RS).

Menurut ibundanya, Sulainah (51 tahun), “Sama sekali kami tidak keluarkan biaya, semuanya ditanggung Pak Dahlan. Nggak bisa berkata apa-apa, Mas. Saya hanya berdoa semoga Pak Dahlan mendapat imbalan yang lebih baik atas kebaikannya membantu anak saya,” ucapnya terbata-bata kepada wartawan IRNEWS.

Lantas bagaimana komentar Jevri? “Saya akan membuat lagu, khusus untuk Pak Dahlan Iskan, sebagai tanda terima kasih saya.” (IndonesiaRaya.com, 10 Juni 2012).

Buku ini relatif laris, terbitan pertama pada Desember 2012, lantas pada Februari sudah mengalami cetak ulang ke-3. Penulisnya Aris Darmawan, wartawan Kaltim Post. Selama 15 tahun terjun di dunia jurnalistik ia memakai nama samaran tersebut.

Padahal nama aslinya berbau ningrat lho, yakni Raden Nugroho Dharis Saputro. Alumnus Ponpes Modern Gontor dan Airlangga College ini mendapat julukan wartawan “spesialis bencana”. Ia berturut-turut dikirim meliput musibah nasional seperti gempa dan tsunami Aceh (2004) lalu 2 tahun berselang berangkat pula ke Jogja dan Padang.

Pada bagian kata pengantar, Dahlan Iskan mengaku “dipaksa” mengenal Twitter oleh Najwa Shihab. Presenter bermata indah tersebut mewawancarai Dahlan untuk waktu yang cukup panjang. Hampir sehari penuh bersamanya di kantor, di warung soto kaki lima sampai keliling kota segala. Nah saat itulah Najwa menggoda Dahlan agar punya akun Twitter.

Awalnya Dahlan bersikeras tidak mau karena tidak melihat manfaatnya dan terlalu sibuk mengurus hal lain. Tapi kepada Najwa ia hanya beralasan karena tidak bisa bikin akunnya. Tak diduga sama sekali, secara spontan Najwa meminta handphone Dahlan dan langsung membuatkan akun Twitter.

Jika hari kelahiran Dahlan tak terdeteksi secara pasti, hari kelahiran Twitter @iskan dahlan tercatat pada 12 April 2012. Semula ia hendak memakai akun @ dahlan_iskan, tapi sudah ada orang yang mengunakan ID tersebut. Baru sebulan memiliki twitter, sudah ada 20.000 yang follow.

Angka tersebut naik menjadi 75.000 saat tepat 3 bulan ia menjadi WNT (Warga Negara Twitter). Lantas pada Februari 2013, tak kurang dari 279.756 followers di akun tersebut.  Ketika @retnowati bertanya, “Pah Dahlan waktu sekolah naik onthel atau jalan kaki? Saya naik onthel 5 km lho, Pak.” Begini jawaban DIS, “Nyeker! 12 km pulang pergi selama 6 tahun. Nasib Ana lebih baik.” (halaman 151).

Buku ini juga menghadirkan endorsements dari Budayawan, Goenawan Mohammad (Membangun Harapan Tak Bisa dengan Diam-Diam), Presiden Jancukers, Sujiwo Tejo (Dua Mutiara dari Buku yang Urakan), dan Hermawan Kertajaya, orang Indonesia pertama yang dinobatkan sebagai 50 Gurus Who Have Shaped The Future of Marketing (Tiga Kenangan dengan Pak Dahlan).

Menurut Sujiwo Tejo, Mas Dahlan Iskan punya sikap unik dalam menghadapi penyakit hepatitis yang ditanggungnya. Perkara ketuhanan, hubungan sosial, bisnis, dan lain-lain disikapi seperti ia menyikapi penyakit hatinya yang dramatis tersebut, yakni fokus dan tidak mengeluh (halaman iv).

Dalam stand-up comedy ada istilah one liner, jurus ini dipakai pula oleh Dahlan dalam menanggapi para follower-nya. Dalam sebait kalimat, ia bisa mengundang tawa pembaca. Dunia pendidikan nasional memiliki banyak penemu sehingga (hampir) setiap kali ganti Menteri ditemukan juga kurikulum baru, lantas @kangdholi meminta Dahlan menjadi Menteri Pendidikan saja, berikut ini respon cerdas ala Dahlan, “Maukah muridnya kencing berlari? (halaman 136).

Tiada gading tak retak begitupula buku ini. Karena berisi kutipan-kutipan dari akun Twitter, banyak kata yang tak sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).  Misalnya bertebaran kata Nggak, Wow, dan emoticon, jempol (like), dll. Kendati demikian, hal ini menunjukkan betapa gaul dan up to date-nya Dahlan.

Akhir kata, buku ini sejatinya merupakan ajakan untuk mencintai cara pikir, pendapat, dan perilaku positif pendiri Jawa Pos Group tersebut. Itulah alasan kenapa di bagian sampul tertera logo, “I Love DIS Way” bukannya “I Love DIS” saja.

Sebab menyitir pendapat Aris Darmawan - ini bukan kitab pemujaan terhadap sosok Dahlan Iskan, melainkan appeal bagi setiap anak negeri untuk mencintai kejujuran, kerja keras, keikhlasan, kerendahan hati, kecerdasan, totalitas, tidak gentar berbuat yang benar, dan hanya takut kepada Tuhan. Selamat membaca dan segera klik follow @iskan_dahlan. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Sekolah Alam PKBM Angon Jogjakarta, Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air, akun twitter @nugroho_angkasa)

***
NB: Biasanya setelah membeli koran di kios terdekat, saya menunjukkannya ke Bapak dan istri. Kini hanya ke istri karena Bapak telah berpulang ke pangkuan-Nya. Rest in Peace Bapak B. Budiharjo (26 Juni 1951-19 Maret 2013), thank you so much, saya bisa seperti ini karena didikan, teladan, dan kasih sayangmu. Satu pesan terakhir almarhum, "Teori tanpa bukti hasilnya nol lagi," so mari terus berkarya dan mempersembahkan setiap usaha kita demi kemuliaan nama-Nya.

1364691366219006437

Maret 22, 2013

Ikhtiar Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu 23 Maret 2013

Judul: Koruptorrajim! (Surat-surat Cinta untuk KPK)
Penulis: Penulis Bersama
Penerbit: IRCiSoD (Diva Press) Yogyakarta
Cetakan: 1/Desember 2012
Tebal: 193 halaman
ISBN: 9786027663787
Harga: Rp30.000

Pada zaman orde lama, korupsi dilakukan di bawah meja. Lalu saat orde baru, korupsi dilakukan di atas meja. Ironisnya pada era reformasi, mejanya pun dikorupsi. Begitulah seloroh ihwal penyakit akut yang menggerogoti tubuh molek Ibu Pertiwi.

Para penulis “Koruptorajim!” bersepakat bahwa akar pemiskinan sistemis di Indonesia ialah korupsi. Pemasukan negara dari pajak yang semestinya dipakai untuk kesejahteraan rakyat justru dirampas segelintir orang. Sehingga Karl Kraus, jurnalis berkebangsaan Austria pun mengatakan, “Korupsi lebih buruk ketimbang prostitusi! (halaman 83).”

Kini korupsi juga telah merambah dunia pendidikan. Nur Izzatun Nisa menceritakan beberapa waktu silam sebuah SD di Rawamangun Jakarta tiba-tiba atapnya roboh karena bahan bangunan yang digunakan tak layak pakai. Selama ini memang banyak aliran dana renovasi bocor di tengah jalan.

Menurut Alumnus Universitas Paramadina tersebut, membiarkan mata anak-anak yang berbinar penuh semangat tiba-tiba redup karena tidak lagi memiliki ruang kelas merupakan kejahatan paling keji. Koruptor telah menghancurkan semangat belajar generasi penerus bangsa tersebut. Padahal salah satu kunci sukses ialah pendidikan.

Buku setebal 193 halaman ini juga melansir data ICW (Indonesian Corruption Watch) pada Januari 2012. Sepanjang 1999-2011 terdapat 233 kasus korupsi di ranah pencerdasan kehidupan bangsa (baca: pendidikan). Dari praktik koruptif tersebut, tak kurang Rp98,3 miliar menguap akibat praktik penyimpangan anggaran. DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk pembenahan infrastruktur sekolah justru dipakai untuk melunasi utang pribadi.

Dalam konteks karut-marut tersebut, peran KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi sangat signifikan. Lembaga ini menjadi penebar asa bagi segenap rakyat Indonesia.  Perilaku koruptif harus dilawan secara kolektif. Republik tercinta masih bisa diselamatkan. Caranya ialah dengan menangkap para koruptor dan menyita harta hasil korupsi mereka. Alhasil, setiap rupiah uang negara dapat dipakai dengan tepat demi menata masa depan yang gemilang.

Ironisnya, KPK malah diserang dari segala penjuru. Dengan dalil hukum, politik, konspirasi, hingga kiriminalisasi pimpinannya, semisal dalam kasus Antasari Azhar. Pun sudah jadi rahasia umum bahwa para perongrong KPK tak lain mereka yang haus kekayaan dan memberhalakan kursi. Untung, KPK tidak berjalan sendiri. Di belakang Abraham Samad dkk, jutaan rakyat dari Sabang sampai Merauke konsisten mendukung.

Sistematikanya, buku ini memuat 18 surat cinta yang ditulis oleh kontributor dengan aneka latar belakang sosial dan profesi. Dari mahasiswa, aktivis perempuan, pengajar, pekerja swasta, ibu rumah tangga, seniman, dan sebagainya. Semua dikemas dalam bentuk surat cinta. Sebuah representasi harapan rakyat agar KPK maju terus mengganyang para koruptor tanpa takut dan tidak tebang pilih. Sebab senada dengan slogan suporter Liverpool, “You'll never walk alone…” Kami selalu bersamamu!

Satu konsepsi menarik ditawarkan Ika Ayu, aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) ini mendapat ide tatkala berdiskusi santai di angkringan. Koruptor ibarat hama tanaman yang  harus dibasmi. Tapi penggunaan pestisida justru meracuni tanah dan membuat mereka bermutasi. Dewasa ini, para koruptor gencar mencari celah dan strategi baru - serta yang terpenting - menggalang dukungan, termasuk dari segelintir oknum penegak hukum (halaman 145).

Solusinya, segenap elemen bangsa harus melawan korupsi dengan metode organik. KPK seyogianya memiliki lebih banyak mitra. Bahkan sampai ke tingkat RT dan kampung sekalipun. Ia terinspirasi oleh cerpen karya Anton Chekov berjudul Satu-satunya Cara. Alkisah, seorang pengusaha merasa was-was dengan tingkah kasirnya yang bernama Ivan Petrovich. Awalnya, si pegawai bekerja teratur, rapi, dan selalu beres. Tapi pada suatu ketika, ia ketahuan mengorupsi uang kas perusahaan untuk memenuhi kebutuhannya.

Alih-alih memecat si pegawai, sang pengusaha memilih membayari seluruh kebutuhan anak buahnya agar tidak lagi bertindak korup. Dari tiket menonton teater, bertamasya ke ibu kota dengan menumpang troika*, dan segala fasilitas mewah lainnya diberikan kepada Ivan. Karena segala kebutuhan tercukupi, pada akhir tahun kas perusahaan aman.

Pertanyaan reflektifnya, bagaimana jika kebijakan semacam itu diterapkan di Indonesia? Berapa besaran dana yang harus dikucurkan untuk memenuhi kebutuhan para pejabat? Karena para koruptor di negeri ini bukan orang miskin yang kelaparan, tapi kaum berkantong tebal yang tetap haus kekayaan. Pun mereka tidak lagi menganggap korupsi sebagai tindak kriminal tapi sebuah gengsi (halaman 140).

Buku “Koruptorajim!” merupakan ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia. Layak dibaca oleh siapa saja yang masih menyisakan asa untuk melihat bangsa ini jadi lebih sejahtera. Selamat membaca!

*troika: kereta salju yang ditarik seekor kuda.

Maret 17, 2013

Memupuk Bunga Asmara

Dimuat di Majalah Hidup, edisi 11 tahun ke-67/ Minggu 17 Maret 2013

Judul: Meditasi Cinta 20 Menit
Penulis: R. Budi Sardjono
Penerbit: Kanisius
Cetakan: iv/2013
Tebal: 68 halaman
ISBN: 978-979-21-2842-0
Harga: Rp20.000

Amarah, salah satu emosi dalam diri manusia. Energinya laksana gunung berapi yang siap memuntahkan lahar. Apabila aliran ke kawah tersumbat justru berbahaya. Karena sewaktu-waktu bisa meletus (halaman 29).

Begitulah analogi menarik dari R. Budi Sardjono terkait salah satu penyebab renggangnya ikatan perkawinan. Padahal sakramen pernikahan ialah janji yang suci. Lantas, bagaimana cara memadamkan bara amarah antar suami-istri?

Boleh marah tatkala menyaksikan sesuatu yang melanggar etika dan sopan santun. Tapi fokuslah hanya kepada penyebab, bukan ke si pelakunya. Pasca badai amarah mereda, diskusikan dengan pasangan, tentunya dengan kepala dingin, kesediaan mendengar, dan hati terbuka.

Buku ini juga memaparkan aral melintang selama mengarungi kehidupan dengan biduk rumah tangga.  Selain itu, buku ini mengingatkan pasutri untuk meluangkan waktu untuk cinta untuk saling berbagi dan saling mendengarkan.






Maret 15, 2013

Sembuh dengan Terapi Neo Zen Reiki


“Apa yang kau sadari bisa kau kendalikan, apa yang tak kau sadari mengendalikanmu.” – Anonim

Pada medio tahun 2004 silam, bapak saya sakit keras. Ia sampai harus dirawat inap di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Imanuel, Bandar Lampung. Saat itu, saya masih studi S1 di Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Bapak memang sudah lama mengidap diabetes, kalau sedang kambuh kadar gulanya bisa mencapai 400.

Tepat di bagian leher terdapat bisul yang baru saja pecah. Alhasil, luka tersebut menyebabkan infeksi dan peradangan di sekitar bagian kepala. Selama berhari-hari ia tak sadarkan diri, karena kinerja sel-sel syaraf terganggu.

Tatkala berada di ruang ICU itu, kedua kaki dan kedua tangannya harus  diikat dengan kain ke ranjang. Sebab setiap kali kesakitan mendera, tenaganya untuk meronta kuat sekali. Jarum dan selang infus yang menacap di urat nadi bisa terlepas jika dibiarkan bebas.

Mendengar penuturan tersebut dari salah seorang kerabat, saya memutuskan segera pulang ke Lampung. Kebetulan saya sedang liburan semester dan ada tetangga yang membawa mobil sedang berkunjung ke Yogyakarta, sehingga saya bisa menumpang pulang dengan mereka.

Selama berada di dalam perjalanan saya merasa begitu gelisah. Telepon genggam selalu berdering dan membawa kabar terkini dari rumah sakit. Perjalanan 20 jam lewat jalur darat terasa begitu lama. Sesampainya di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai, saya langsung menuju ke RS yang berada tepat di tepi jalur lintas Sumatra Jl. Soekarno Hatta, Way Halim.

Setengah tak percaya menyaksikan kondisi bapak saat itu. Kepalanya bengkak seperti penderita hidrosepalus. Ia tak bisa diajak berkomunikasi sama sekali. Selang infus bergelantungan di sekitar ranjang. Monitor pendeteksi detak jantung tiada henti berkedap-kedip di ruang ICU. Kaki dan tangan bapak masih diikat, di beberapa bagian tangan dan kaki tampak menyebabkan luka lecet.

Di ruang ICU tersebut ada 3 pasien yang semuanya dalam kondisi kritis. Keesokan harinya ketika saya kembali menjenguk kini tinggal seorang saja, yakni bapak saya. Menurut para perawat dua pasien lainnya sudah pulang ke haribaan-Nya.

Jujur saya merasa takut sekali ditinggalkan oleh bapak. Sedikit cerita tentang keluarga kecil kami, saya anak pertama dari 2 bersaudara. Adik saya perempuan dan masih sekolah di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Kami terlahir dari rahim yang berbeda. Ibu kandung saya sudah meninggal saat saya masih berusia 2 tahun. Lantas, bapak baru menikah lagi saat saya duduk di bangku kelas 4 SD Sejahtera 1 Kedaton.  Dari perkawinan dengan ibu yang baru, lahirlah adik saya tersebut.

Trauma menyakitkan akibat ditinggal ibu kandung hadir kembali, kali ini kian mencekam karena kondisi bapak pun begitu kritis. “Saya tak mau ditinggalkan oleh orang-orang tercinta untuk kedua kalinya,” begitu ungkapan batin saya saat itu. Apalagi bapak juga merupakan tulang punggung keluarga kami.

Berawal dari SMS

Singkat cerita, ketika hati masih dalam keadaan gundah gulana, saya menerima sms dari Liny Tjeris, seorang fasilitator Neo Kundalini Yoga dan asisten Anand Krishna di Jakarta. Isinya undangan acara open house di Anand Ashram Sunter, Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta 14350.

Sejak awal tahun 2004, saya memang mengikuti latihan meditasi dan pemberdayaan diri di Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Tapi saat itu, namanya masih Millenia Ashram, karena dikelola oleh salah seorang pembaca buku dan sahabat Anand Krishna.

Salah satu buku panduannya ialah Seni Memberdaya Diri 1 untuk Manajemen Stres & Neo Zen Reiki untuk Kesehatan Jasmani dan Rohani, karya Anand Krishna. Sejak kali pertama membacanya, saya ingin sekali mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Tapi karena belum ada biaya, saya terus menunda keberangkatan ke Jakarta.

Nah kali ini, niat tersebut kian membara, terutama pasca melihat kondisi terakhir bapak di ICU. Dokter dan perawat yang saya tanyai pun secara implisit menyiratkan bahwa kondisi bapak nyaris tak tertolong. Karena infeksi di bagian leher sudah menjalar ke sel-sel syaraf di otak.

“Saya harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti open house dan attunement Neo Zen Reiki,” tekad saya sudah bulat dalam hati. Lalu, malamnya saya berpamitan dengan ibu dan keluarga yang menjaga di Rumah Sakit. Karena besok pagi-pagi sekali saya akan berangkat ke Jakarta.

Saat subuh saya sudah berdiri di tepi jalan antar lintas Sumatra, menanti bus arah ke pelabuhan Bakauheni. Acara open house diadakan pada Sabtu mulai jam 16.00-17.30 WIB, kemudian program attunement diadakan pada hari Minggu pagi.

Ini kali pertama saya hendak ke Anand Ashram Sunter, panduan saya hanya rute yang terpampang di website http://www.anandashram.or.id/index.php?id=centres/jakarta

Saya sampai di lokasi sekitar jam 2 siang, jadi masih sepi belum ada pengunjung sama sekali. Lalu, saya kembali ke jalan raya dan menumpang mandi di sebuah POM Bensin, makan siang di warung tegal dan beristirahat sejenak di sebuah teras Mushola yang ada di daerah Sunter tersebut.

Saat open house dimulai begitu banyak peserta yang datang. Tak hanya dari Jakarta, tapi banyak juga yang dari luar kota. Saat itu, kami berlatih Voice Culturing (membudayakan suara). Anand Krishna masih memfasilitasi langsung latihan pemberdayaan diri tersebut. Lantas, kami bernyanyi dan menari bersama. Acara ditutup dengan sharing, diskusi dan tanya-jawab.

Rasanya lega sekali pasca open house, kepanikan karena trauma takut ditinggal orang tercinta jauh berkurang. Lalu, saya mendaftar untuk mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Saat itu tarifnya kalau tak salah Rp400.000, sekali attunement bisa bermanfaat seumur hidup.

Proses healing dengan teknik sentuhan tersebut memang dipopulerkan kembali oleh Anand Krishna. Pasca sembuh dari penyakit Leukemia (kanker darah) di tahun 1991, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut berbagi pengalaman kepada masyarakat luas lewat program attunement Neo Zen Reiki 1st degree dan 2nd degree. Tujuannya untuk memfasilitasi perubahan pola energi seseorang agar lebih seirama dengan gelombang alam semesta.

Neo Zen Reiki hanya satu dari 300-an lebih metode pemberdayaan diri yang dikembangkan Anand Krishna. Teknik kuno tersebut dulu dipopulerkan oleh Sensei Usui di Jepang (kurang lebih seratus tahun silam), Teknik penyembuhan Neo Zen Reiki meminimalisasikan penggunaan mind. Inilah aspek pembeda dengan  metode konsentrasi  dan visualisasi.

Prinsipnya ialah, “Alam merupakan medan energi yang luar biasa melimpah bagi kita, dan kalau kita berlaku sebagai Anak Allah yang hormat terhadap Sang Ibu, kita akan selalu dipelihara oleh-Nya. Energi Murni Alam Semesta itu akan membuat kesehatan jiwa dan raga menjadi suatu yang sudah dimiliki dan Anda dapat mengelola kesehatan jiwa raga Anda sendiri… tak perlu orang lain!” (Seni Memberdayakan Diri 1 - Meditasi dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 1998) 

Attunement

Karena saat itu belum ada tempat untuk menginap, saya kembali ke Mushola di dekat jalan raya. Di terasnya saya merebahkan diri dan tidur pulas sekali. Keesokan harinya, saya bergegas ke POM Bensin untuk menumpang mandi, mampir di warung tegal untuk sarapan dan  berangkat ke Anand Ashram Sunter.

Tak begitu banyak peserta yang mengikuti attunement, tak sampai sepuluh orang. Beberapa mengikuti yang 1st degree, beberapa lainnya ada yang mengambil attunement 2nd degree. Kalau yang 1st degree harus bertemu dan menyentuh langsung saat melakukan terapi Neo Zen Reiki, sedangkan kalau 2nd degree bisa jarak jauh.

Setelah proses attunement oleh Liny Tjeris dan Anand Krishna,  Liny Tjeris mengingatkan kembali prinsip dasar dari terapi Neo Zen Reiki. Intinya kita hanya alat di tangan Sang Tabib Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Untuk info lebih lajut klik di http://www.anandashram.or.id/index.php?id=programs/reiki

Kemudian, teknis terapi juga dijelaskan lewat peragaan. Kami berpasangan dengan sesama jenis, pria dengan pria, wanita dengan wanita. Lalu bergantian menjadi terapis dan yang diterapi, sehingga bisa memiliki pengalaman langsung. Sebelum dan sesudah terapi kami juga berdoa menurut keyakinan dan agama masing-masing. Acara pagi itu diakhiri dengan pembagian sertifikat kepada para peserta dan makan siang bersama dengan menu vegetarian.

Pasca bersalaman dan berpamitan, saya segera pulang ke Lampung, selama 21 hari berikutnya terhitung sejak 24 Juni 2004 saya harus mempraktikkan latihan Neo Zen Reiki tanpa putus sama sekali. Ketika dalam perjalanan pulang, sudah terbayang bahwa saya akan langsung melakukan terapi pertama kepada bapak di Rumah Sakit.

Saya naik bis menuju pelabuhan Merak, menyeberangi selat Sunda menuju Bakauheni dengan kapal laut dan akhirnya naik bis lagi hingga tiba di depan RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung. Saya beristirahat sejenak, mandi, dan juga makan malam, saat itu hari memang sudah mulai gelap.

Praktik Pertama

Lantas, saya memberanikan diri mengendap berjalan menuju ke ruang ICU. Di sana ada seorang perawat yang piket menjaga bapak. Awalnya, ia melarang saya masuk. Tapi setelah saya jelaskan bahwa saya anaknya, ia akhirnya mau mengalah juga.

Sebelum melakukan praktik Neo Zen Reiki saya memang harus mencuci tangan dengan garam kasar, kemudian baru menyentuh mulai dari mata, pipi, bagian belakang kepala, leher, dada, perut, paha, punggung, pinggang, lutut, dan telapak kaki. Pada bagian leher yang diperban, saya menyentuhnya dengan lembut agak lama.

Tak terasa setengah jam lebih waktu telah berlalu. Sebagai seorang Kristiani, saya juga mengawali dan mengakhiri dengan membuat tanda kemenangan Kristus, doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan. Setelah selesai, saya mencuci tangan kembali dengan garam kasar. Dan…tak lupa berpamitan dengan perawat serta mengucapkan banyak terimakasih atas ijinnya.

Malam itu saya menginap di Rumah Sakit, menemani ibu yang selama ini menjaga bapak sendirian. Kami tidur selonjor di bangku-bangku ruang tunggu pasien. Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali. Kali ini. saya mempraktikkan Neo Zen Reiki untuk diri sendiri di halaman taman Rumah Sakit Imanuel.

Mujarab

Setelah sarapan, ketika mengunjungi bapak lagi di ruang ICU pagi itu, ternyata bapak sudah sadar. Ia bahkan bisa diajak bercakap-cakap. Menurut dokter dan perawat di sana, kondisi bapak telah membaik, ia telah melewati masa kritis. Padahal kabarnya ketika saya masih di Jakarta, mereka sempat panik karena selama 3 menit, nafas bapak sudah berhenti, begitupula detak jantungnya tak terdeksi lagi di layar monitor.

Sore harinya, bapak sudah boleh pindah ke kamar opname biasa, tak lagi di ICU. Saat peralihan antara petang dan malam, saya kembali mempraktikkan Neo Zen Reiki ke bapak. Menurut penjelasan Liny Tjeris saat pelatihan di Jakarta, waktu paling tepat untuk melakukannya memang saat jam-jam peralihan antara malam dan pagi hari (Subuh) serta peralihan antara petang dan malam hari (Maghrib). Kenapa? Karena saat itu kondisi alam begitu tenang dan mendukung penyelarasan diri dengan gelombang semesta.

Tak sampai seminggu di ruang opname, bapak sudah boleh pulang. Luka bekas bisul yang meletus di lehernya sudah mengering. Kadar gulanya juga sudah normal. Memang berat badannya turun drastis, sebelum sakit 60 kg dan jadi tinggal 45 kg saat keluar dari Rumah Sakit. Susutnya 15 kg selama 16 hari. Jadi rata-rata sehari berkurang 1 kg.

Kini bapak sudah pensiun dari tugasnya mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Bandar Lampung. Ia menjadi guru sejak tahun 1978-2011. Lalu, bapak memilih menghabiskan masa senja di Yogyakarta kembali ke kampung halamannya di kota Gudeg. Ia masih sehat dan bisa bermain badminton. Terimakasih Tuhan atas kesempatan bagi kami untuk tetap bersama hingga tulisan ini dibuat.

Sebagai wujud syukur kepada Sang Pemberi Hidup, saya terus mempraktikkan Neo Zen Reiki 1st degree bagi diri sendiri, istri, keluarga, dan siapa saja yang membutuhkan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Selain itu, saya juga bercita-cita untuk mengikuti program attunement 2nd degree. Terimakasih Anand Krishna, terimakasih Liny Tjeris yang telah mengajari saya teknik penyembuhan yang sungguh migunani tumraping liyan ini. God bless you all…


Sumber Foto: http://www.anandashram.or.id/index.php?id=programs/reiki

Maret 10, 2013

Meramu Laporan Bernyawa Kebenaran

Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Senin/11 Maret 2013
http://mjeducation.co/meramu-laporan-bernyawa-kebenaran/

Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Ariyanto
Penerbit: Metagraf, Tiga Serangkai Solo
Cetakan: 1/September 2012
Tebal: xx + 228 halaman
ISBN: 978—602-9212-31-0

“Jurnalis - bila melakukan pekerjaannya dengan semestinya - adalah penjaga gerbang kebenaran dan suara hati nurani…” – halaman v

Adagium di atas senada dengan tesis Christiane Amanpour. Kepala Koresponsden Internasional CNN itu pun berkeyakinan bahwa jurnalisme berkarakter dapat menjadikan dunia lebih baik. Tak pelak jika media digadang-gadang sebagai pilar keempat demokrasi.

Ironisnya, di republik tercinta ini ada lembaga pers yang terkooptasi kepentingan politis. Apalagi jelang pemilu 2014, infiltrasi parpol deras menerabas sekat media yang seyogyanya independen.

Dalam konteks ini, kehadiran buku Jurnalis Berkisah (JB) ibarat suara genta di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan. Berikut ini petikan Catatan Najwa dalam episode Mesin Kuasa, Rabu (20/6/2011), “Di era reformasi partai lama mati suri, di tengah kemiskinan ideologi serta gelapnya dinding nurani politisi. Partai, agen tunggal politik formal tergusur oleh hukum besi oligarki. Politik elit membelenggu partai, sebatas arena dagang sapi dan ladang korupsi…” (halaman 4).

Sejak awal, program Mata Najwa fokus pada isu politik dan hukum. Pada 2008, Metro TV mendorong para presenter senior untuk membuat program acara dengan mengusung nama dan karakteristik diri sendiri. Ini tak lepas dari keberhasilan acara Kick Andy yang dikelola Andy F. Noya. Lantas Sjaichu, produser Todays Dialogue mengusulkan program Mata Najwa. Presenternya siapa lagi kalau bukan Najwa Shihab.  

Pemilik bola mata indah tersebut menyadap inspirasi dari film The Devil’s Advocate. Sebelum mewawancarai narasumber, ia selalu melakukan riset dengan sangat serius, misalnya ketika Foke alias Fauzi Bowo menjadi tamu, Najwa memelototi arsip peraturan daerah (perda) ibukota. Persoalan klasik seperti kemacetan, keamanan, dan banjir terus dilontarkan kepada Gubernur DKI Jakarta saat itu.

Total ada 10 kisah dalam buku ini. Awalnya, penulis hendak memuat 11 cerita nyata dari para pewarta jurnalistik. Namun pada detik-detik terakhir, Budiono Darsono, pendiri Detikcom menolak. “Saya belum layak,” tulis Budiono di message inbox Facebook (FB) Yus Ariyanto.

Sekilas ihwal penulis, ia jebolan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (FIK) Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat. Yus sempat bekerja di sejumlah majalah, antara lain FORUM Keadilan dan BusinneesWeek Indonesia.

Ayah dua anak tersebut mengaku terinspirasi oleh Soebagijo I.N, pensiunan LKBN Antara yang menulis buku Jagat Wartawan Indonesia (JWI) setebal 635 halaman pada 1981. Walau sama-sama memuat aneka kisah para pewarta, JB berbeda dengan JWI. Kalau Jagat Wartawan Indonesia lebih bercorak ensiklopedis dengan total 111 biografi di dalamnya, sedangkan Jurnalis Berkisah berisi 10 kisah inspiratif.

Petualangan Maria Hartiningsih misalnya, jurnalis perempuan ini enggan bekerja di balik meja. Peraih Yap Thiam Hien Award (2003) tersebut lebih suka sol sepatunya aus di jalanan ketimbang duduk “berkarat” di depan layar laptop.

Ia menuliskan alasannya, “Comfort zone itu sebenarnya merupakan wilayah semu, tetapi kita tak hirau lagi karena terlanjur nyaman, tak perlu kerja keras, punya banyak relasi orang besar dan bangga karena dikenal baik oleh mereka. Dan akhirnya juga posisi struktural yang baik. Saya tidak mengatakan hal itu baik atau buruk. Bagi saya, semuanya adalah soal pilihan hidup. Dan saya memilih jalan saya, tetap menjadi jurnalis lapangan.” (Menolak Logika Koruptif dalam Kerja Jurnalistik yang dimuat di antologi Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat, 2006).

Maria terkenal dengan reportasenya yang populis. Penerima N-Peace Award (2012) ini konsisten memihak kaum marjinal – mereka yang disingkirkan oleh derap laju peradaban. Suryopratomo pernah melaporkan, “Pada tahun 1997, Maria melihat dari dekat kehidupan anak-anak di Deli Serdang, yang bekerja di jermal-jermal di tengah laut untuk menangkap ikan teri.

Maria hanya ingin mengingatkan betapa ikan teri Medan, yang begitu enak dinikmati itu ternyata berasal dari usaha kerja keras anak di bawah umur, yang bukan hanya harus meninggalkan keluarga, tapi juga mempertaruhkan nyawa di tengah hantaman ombak dan kehidupan yang sangat keras, sekaligus Maria ingin mengingatkan hak anak untuk bermain dan mendapatkan pendidikan yang memadai.”

Dalam konteks ini, tesis Mary Mapes menemukan relevansinya, “Jurnalisme bukanlah obat, tetapi dapat menyembuhkan. Jurnalisme bukanlah hukum, tapi dapat membawa keadilan.” (Truth and Duty, 2005)

Buku setebal 228 halaman ini ibarat sketsa yang merepresentasikan wajah jurnalisme pasca reformasi. Proses penggarapannya terbilang unik, ada yang berjam-jam meluangkan waktu ngobrol dengan penulis lalu harus menjawab pertanyaan susulan lewat pesan pendek, BBM atau surat elektronik. Pasca aneka bahan tulisan dikirimkan, beserta foto, proses terakhir yang teramat penting ialah melakukan pengecekan fakta. Ternyata meramu sebuah laporan bernyawa kebenaran bagi publik tak semudah membalikkan telapak tangan. Selamat membaca!


Maret 07, 2013

Perempuan sebagai Juru Damai

Dimuat di Rubrik Oposan, Tabloid Bola, Kamis-Jumat/7-8 Maret 2013

Hari Perempuan Internasional dirayakan pada 8 Maret setiap tahunnya. Sebuah hari besar untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Secara historis, momentum ini juga untuk mengenang insiden kebakaran tragis pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911. Saat itu, 140 orang perempuan tewas terpanggang.

Pada awal abad ke-20, gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi menyebabkan aksi demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah buruh. Kaum perempuan dari pabrik tekstil berbondong-bondong menggelar aksi damai pada 8 Maret 1857 di kota New York. Namun, para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan secara represif oleh aparat. Alhasil, perayaan Hari Perempuan Internasional sempat terhenti beberapa saat. Tapi mulai dihidupkan kembali seiring bangkitnya gerakan feminisme pada 1960-an.

PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional sejak 1975. Bagaimana kontribusi kaum perempuan dalam kancah sepak bola, khususnya di Indonesia?

Secara psikologis, perempuan memang cenderung feminim, melembutkan, dan merangkul semua (inklusif). Ketegangan antar dua kubu yang bertikai niscaya dapat dicairkan dengan kehadiran kaum hawa. Sebelum Kartini genap berusia 20 tahun, ia sudah “melahap” buku-buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta  karya Multatuli. Selain itu, ada juga De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) – nya Louis Coperus.

Inti pemikiran Kartini ialah Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, dan Solidariteit (Kemandirian, Persamaan Derajat, dan Solidaritas). Semua itu dibangun atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan). Pun ditambah dengan prinsip Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Nah warna peri kemanusiaan dan semangat cinta tanah air inilah yang kini mulai pudar dalam kancah sepak bola nasional. Kiranya cita-cita ideal mendiang R.A Kartini dapat diterapkan untuk mengurai sengkarut dualisme.

Reflektif

Sifat feminim perempuan lainnya ialah reflektif. Dalam arti berani menoleh dan bertanya pada diri sendiri. Dengan memahami diri sendiri, sejatinya kita akan mampu memahami orang lain.

PSSI sendiri belum paham secara utuh ihwal konsep dirinya, tapi sudah berupaya memaksa KPSI memahami kemauannya. Pun begitupula sebaliknya.

Jika sebuah organisasi sudah paham akan fungsi kelembagaannya, niscaya mereka tidak lagi mengikuti keinginan orang ketiga. Memahami diri sendiri berarti mengerti kemauan secara memadai, yakni mana yang bermanfaat bagi pesepakbolaan nasional dan mana yang akan merugikan bangsa dan negara?

Akhir kata, perseteruan, konflik, polemik justru memboroskan energi kolektivitas. Alangkah lebih tepat sasaran bila tenaga, biaya, dan waktu difokuskan untuk membenahi hal-hal yang riil dibutuhkan masyarakat sepakbola Indonesia. Ada baiknya kita menimba inspirasi dari R.A Kartini dan para kaum hawa lain. Hidup perempuan dan salam rekonsiliasi!



Maret 05, 2013

Sederet Manfaat Meresensi Buku di Media Massa

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/6 Maret 2013
http://mjeducation.co/sederet-manfaat-meresensi-buku-di-media-massa/

Awalnya, saya sekadar hobi membaca koran, majalah, dan buku. Namun karena kepepet, saya mulai menulis dan mengirimkan resensi buku ke media massa. Sebagai mahasiswa yang indekos di perantauan, kiriman orang tua dari tanah seberang tak cukup memenuhi kebutuhan sebulan. Setiap menjelang tanggal tua, saya terus memutar otak bagaimana caranya mendapat pemasukan tambahan untuk makan.

Untung, saya teringat pelajaran di SMA Kolese De Britto, guru Bahasa Indonesia saya (Pak Agus Prih) pernah memberi tugas menulis resensi buku. Saat itu, saya mencari bahan bacaan di toko buku (TB) di sebuah pusat perbelanjaan di Malioboro. Kalau tak salah ingat, novel tersebut berjudul “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.

Demikian pula ketika awal kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta,  di sana saya mengambil mata kuliah Book Report. Setiap minggu saya harus rutin berkunjung ke perpustakaan kampus untuk mencari bahan bacaan dan kemudian melaporkan isinya kepada dosen. Karena belajar di program studi bahasa Inggris, tulisannya pun harus menggunakan bahasa Inggris, sewaktu itu karya-karya Ernest Hemingway yang saya lahap dan resensi, salah satunya novel klasik “The Old Man and the Sea.” 

Pasca kesekian kalinya mengirim tulisan ke media massa dan terus ditolak oleh redaktur. Akhirnya, resensi pertama saya dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat (KR) pada hari Minggu, 4 September 2005. Isinya mengulas diskusi keajaiban air di One Earth Ciawi, Bogor, yakni seputar penelitian dr. Masaru Emoto dari Jepang dalam The Hidden Messages in Water. Penulisnya Ir. Triwidodo Djokorahardjo, Nina Natalia, Ir. Gede Merada, dan Anand Krishna Ph.D. Intinya, ternyata ungkapan cinta (love) dan ucapan syukur (gratitude) dapat membentuk kristal air yang begitu indah.

Tatkala melihat nama saya terpampang di koran edisi minggu tersebut, rasanya bahagia sekali. Bahkan hingga saat ini, setiap kali mengingat peristiwa tersebut langsung membuat hati kembali berbunga-bunga. Honor resensi buku saat itu Rp50.000,00, bukti kuitansinya pun masih saya simpan, warnanya hijau pupus. Itulah gaji pertama saya sebagai peresensi buku. Sedangkan honorarium resensi tertinggi, saya pernah terima dari sebuah koran nasional. Buku yang diresensi ialah Be Happy. Setengah tak percaya membaca nominal Rp600.000 tercetak di buku tabungan.

Selain mendapat honorarium, saya mulai bisa menyalurkan energi kreativitas, pun berbagi pemikiran dan pengalaman membaca. Karena tertulis, maka bisa didokumentasikan sebagai catatan sejarah. Setidaknya, sejarah pribadi saya, syukur bila memberi secuil inspirasi bagi orang lain. Sampai saat ini, saya terus mengkliping setiap resensi yang dimuat di media massa. Rencananya untuk warisan anak-cucu kelak.

Ibarat mendapat durian runtuh, ternyata kampus tempat saya kuliah sangat mengapresiasi mahasiswa yang mau menulis di koran. Karena aktivitas tersebut menambah kental nuansa akademis di universitas, pun mempromosikan almamater ke khalayak ramai. Untuk koran lokal mendapat Rp100.000 dan untuk koran nasional Rp150.000. Saat itu, nominal sebanyak itu relatif menggiurkan, sebab bisa untuk makan di angkringan dengan menu gopero (sego/nasi kucing tempe loro/dua) selama 2 minggu. Sebungkus nasi kucing masih Rp.500 dan gorengan Rp.100/potong. Bahkan saat liburan semester, saya bisa jalan-jalan ke Bogor dan Bali dengan honorarium dari redaksi koran dan lembaga penelitian di kampus.  Agar lebih irit, naiknya kereta api (KA) ekonomi Progo dan Sri Tanjung.

Saat kuliah setiap keping rupiah sangat berharga sehingga perlu berhemat sebelum membeli koran minggu (yang biasa memuat rubrik resensi buku). Saya punya langganan kios koran di dekat indekos, tepatnya di Jalan Gejayan (kini namanya Jl. Affandi), Dusun Soropadan, Yogyakarta. Setiap minggu pagi, saya bangun lebih awal,  membasuh wajah kemudian menggenjot sepeda onthel ke sana. Bukan untuk membeli koran, tapi sekadar mengecek apakah resensi yang dikirim dimuat atau tidak? Kalau ya, nah baru merogoh saku untuk membeli korannya, karena bisa untuk dikliping. Toh biayanya bisa dipotong dari honorarium kelak.

Begitu pula dalam hal memilih buku yang akan diresensi.  Biasanya, saya menumpang membaca dulu di toko buku. Sehari beberapa halaman, kemudian esok harinya disambung lagi. Dalam seminggu satu buku gratis bisa dinikmati. Syaratnya mudah, betah berdiri membaca di toko buku itu dan bersikap ramah pada Pak Satpam. Sumber bacaan gratis lainnya ialah perpustakaan kampus. Tapi kalau hendak difotokopi sampul bukunya, pasti masih terlihat label peminjaman. Tak kehabisan akal, jurus pamungkas untuk mendapat buku gratis ialah dengan meminjam ke teman yang punya bacaan baru, dengan catatan setelah selesai harus dikembalikan.

Kini seiring bergulirnya waktu, semakin banyak penerbit mengirimkan buntelan buku kepada saya. Tapi tak semuanya saya baca dan resensi. Saya suka membaca buku sastra, novel, biografi, pendidikan, ekologi, self-help, dan spiritualitas.  Kalau ada buku yang tak terbaca, biasanya saya oper ke teman-teman peresensi lain yang mau meresensinya. Kami pun biasa barter buku, yakni dalam rangka memuaskan dahaga bacaan yang sesuai minat dan kompetensi.

Secara lebih mendalam, sejatinya meresensi buku ialah sarana untuk meminjam istilah Hernowo, mengikat makna. Sehingga sewaktu-waktu hendak meninjau ulang isi buku yang telah dibaca, bisa menjadikan resensi itu sebagai pijakan, tak perlu membuang waktu dengan membaca ulang dari awal lagi.

Selain itu, saya bisa menyelami pemikiran dan belajar dari pengalaman para penulis yang tertuang dalam setiap lembaran buku. Saya pun memberanikan diri menyapa mereka via jejaring sosial. Beberapa di antaranya jadi bisa “kopi darat” alias bertemu secara langsung. Sungguh bahagia rasanya bisa berinteraksi dan ngangsu kawruh dari para penulis hebat tersebut.

Berikut ini beberapa penulis yang bukunya pernah saya resensi: Anand Krishna Ph.D, Su Rahman, Ir. Triwidodo, Maya Safira Muchtar, Sidik Nugroho, Yohanes Babtista, St. Kartono, Hj. Sriyanto, Pandji, Maria Audrey Loekito, Harry van Jogja, Jalu Suwangsa, Wisnubrata Widarsa, Ishadi S.K dkk,  Andreas Susetya, Sudrijanta SJ, Sr. M. Levita, FSGM, G. Budi Subanar SJ, Anies Baswedan dan para pengajar muda, Ahmad Fuadi dkk, Dr. Russ Harris M.D, Wallace D. Wattles, Donald. W. Mitchel, Baskara T. Wardaya SJ, Romo Kirdjito Pr, Luwi Ishwara, John McCain, Mark Salter, Stephen R. Covey, Neale Donald Walsch, Steve Jobs, dll. Seluruh dokumentasinya dapat dibaca di www.local-wisdom.blogspot.com

Proses Kreatif
 
Saya biasanya membaca buku minimal tiga kali sebelum mulai meresensi, begitulah nasehat dari Pak Herujiyanto, dosen pembimbing skripsi di kampus dulu. Ketika itu saya memang memilih literatur novel sebagai bahan pembahasan. Pak Dosen berkata, “Ibarat memasuki hutan belantara, kamu harus mempersiapkan segalanya dengan baik. Dengan membaca berulang-ulang, kamu jadi lebih paham seluk-beluknya sehingga kemungkinan tersesat menjadi minim.”

Saya membaca buku kapan pun dan di mana saja. Tapi saat favorit ialah ketika (maaf) buang air besar di WC pada pagi hari. Relaksasi dan kelegaannya kian komplit dengan adanya buku di tangan (kanan). Berhubung sekarang sudah memiliki istri, awalnya ia sering komplain kalau saya terlalu lama di kamar mandi. Tapi setelah saya jelaskan baik-baik, ia bisa menerima juga.

Sembari membaca, poin-poin yang menarik saya tulis di kertas, berikut nomor halamannya. Saya baru memiliki laptop dan modem sendiri pada akhir 2011 silam, itupun hasil menabung dari honor tulisan. Jadi praktis sebelumnya saya bergerilya mengetik di rental, warnet, perpustakaan kampus atau menumpang di komputer teman.

Dulu kalau mau mengirim tulisan ke koran nasional masih menggunakan jasa pos. Sedangkan yang media lokal, saya antar langsung naik sepeda onthel warisan simbah kakung (kakek). Sekarang di era serba digital ini prosedurnya relatif lebih mudah. Cukup mengirimnya via e-mail, sekali klik langsung sampai ke meja redaksi di seberang sana.

Ketimbang menulis opini, jujur saya lebih suka memilih resensi. Kenapa? Karena rasanya lebih santai. Walau kalau sudah “kanker” (kantong kering)  ping-pong menulis opini juga. Alasannya pragmatis, kalau resensi hanya seminggu sekali (biasanya hari Minggu), sedangkan kalau opini ada rubriknya setiap hari.

Pada hemat saya, prinsip utama dalam meresensi buku ialah dengan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang paling menarik dari buku yang kita baca? Apa yang bisa dipelajari dari buku tersebut? Misalnya berupa data baru, pengalaman unik, dan penemuan terobosan. Kemudian jangan lupa untuk mengkritisi pula, bagian apa dalam buku tersebut yang kurang. Sehingga bisa merekomendasikan perbaikan ke depannya.

Selama meresensi buku saya suka sembari mendengarkan musik. Paling sering alunan instrumental Mozart sebagai back sound. Kemudian setelah selesai baru mengedit. Kali ini latar belakang lagunya slow, misalnya alunan piano Richard Clayderman. Logikanya sederhana, saat menulis butuh semangat, sehingga dipancing dengan lagu dinamis. Kemudian saat mengedit butuh ketenangan maka pilihlah lagu yang kalem.

Kalau macet, solusinya ada 2 cara. Pertama, membaca ulang baca yang hendak diresensi. Kedua, bermain alat musik. Saya suka genjrang-genjreng kencrung atau gitar sehingga terstimuli untuk menemukan irama yang tepat. Tak hanya untuk lagu yang dinyanyikan tapi juga untuk nada tulisan dalam resensi.

Selain itu, saya belajar dari banyak teman- teman peresensi senior. Dalam arti mereka yang setia menekuni profesi ini. Antara lain, J. Sumardianta, Ali Usman, M. Iqbal Dawami, Anwar Holid, Hernadi Tanzil, Wildan Hefni, Romel Maskyuri, Humaidy As, Noval Maliki, Supriyadi, Abdullah Hanif, Ammar Machmud, Ahmad Faozan, Fajar Kurnianto, Aris Hasyim, Nur Mursidi, Munawir Azis, Hendra Sugiantoro, Bramma Aji P, Abdul Kholiq, Anton Prasetyo, Muhammad Safrodin, Muhammad Rajab, Muhammad Rasyid Ridho, Suhaeri Rachmad, Abd. Basid, Muhammad Bagus Irawan, Untung Wahyudi, Musyafak, Siti Muyassarotul Hafidzoh, Bandung Mawardi, Bonnie Eko Bani, Benni Setiawan, Andi Andrianto, M. Nafiul Harris, Fuad Hasan, Mutasiudin, dll, caranya dengan rajin membaca ulasan buku mereka yang bertebaran di media massa.

Terakhir tapi penting, kebersamaan dengan Komunitas Peresensi Jogjakarta (KPJ) menjadi penyemangat tersendiri untuk terus konsisten menarikan jemari di atas keyboard notebook. Setiap kali ada kesempatan bertemu kopi darat di angkringan, kita bisa berdiskusi dan berbagi informasi seputar buku. Sebab menyitir slogan KPJ yang terpampang di kaos kebangsaan, “Membaca buku itu biasa, meresensi buku baru luar biasa.”

Maret 02, 2013

Soal Anand Krishna, Saya Percaya Albertina Ho

Diterbitkan oleh WAWASANews.com, Sabtu/2 Maret 2013 di Rubrik Hukum, Surat Pembaca

Pasca memvonis bebas Anand Krishna pada 22 November 2011 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Albertina Ho dipindahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Sungailiat, Bangka Belitung.

Kabar terkini dirilis oleh Andi Saputra di detikcom, pada Kamis (28/2/2013) Badan Narkotika Nasional (BNN) menggelar tes urine bagi para hakim di PN Sungailiat. Hasilnya, 100 persen anak buah Albertina Ho bebas dari narkoba. Bisa dilihat di sini http://news.detik.com/read/2013/03/01/113852/2183104/10/hakim-albertina-ho-anak-buahnya-100-persen-bebas-narkoba.

Latar belakang tes ini karena tertangkap basahnya hakim PN Bekasi yang tengah berpesta narkoba di sebuah tempat hiburan di Jakarta Pusat beberapa waktu silam. Selain itu, masih lekat dalam ingatan publik ihwal pemecatan hakim agung Achmad Yamanie (AY) dari Mahkamah Agung (MA). Ia ketahuan memalsukan hukuman bagi bandar narkoba.

Ternyata, AY juga salah satu hakim yang memvonis hukuman bui 2,5 tahun untuk Anand Krishna. Anehnya, dalam dalam salinan putusan Anand Krishna yang diunduh detikcom dari website MA, Rabu (14/11/2012), dalam halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi:

"Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat."

Pasca ditelusuri lebih lanjut oleh wartawan detikcom, ternyata nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain. Klik beritanya di sini http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai-kasus-pidana-merek-untuk-kasasi-anand-krishna.

Pertanyaannya, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana merek versi JPU di putusan Anand Krishna? Seorang di FB (facebook) berpendapat bahwa salah mencantumkan itu karena nama Erik Mulya Kusuma dan Anand Krishna, mirip. Namun sebuah dokumen negara yang bisa dibaca publik, seyogianya perlu dilakukan cek dan ricek bukan?

Akhir kata, dari fakta di atas tampak jelas perbedaan antara Albertina Ho dengan Achmad Yamanie dkk. Jika ada yang bertanya, jujur saya lebih percaya pada vonis bebas terhadap Anand Krishna dari Albertina Ho yang teruji integritasnya. Bagaimana dengan Anda?

Sumber Foto: Ari Saputra, detikcom