Juni 15, 2013

Simbiosis Mutualisme Guru dan Murid

Dimuat di Radar Surabaya, Minggu/16 Juni 2013

Judul: Guru Gokil Murid Unyu
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: xiii + 303 halaman
ISBN: 978-602-7888-13-5
Harga: Rp52.000

“Guru harus lebih banyak menyimak bukan berbicara melulu. Banyak peluang dan keajaiban yang datang dari mendengarkan ketimbang ceramah terus.” – halaman 199

Lenggono Relung Admadi biasa dipanggil Alung. Ia mantan murid SMA Kolese John De Britto Yogyakarta. Kini, Alung sedang melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Sejak kecil, ia sudah ditinggal minggat bapaknya. Sehingga ibunya terpaksa menjadi single parent (orang tua tunggal).

Tatkala masih bersekolah di SMA yang hanya menerima siswa laki-laki dan mengijinkan mereka berambut gondrong tersebut, Alung pernah mengikuti magang kerja sosial sebagai perawat di Panti Jompo Pasar Senen, Jakarta. Kepada J. Sumardianta yang menjadi mentornya, Alung mengaku sempat merasa jijik. Bahkan pada hari pertama menjalani kerja sosial tersebut, ia hampir muntah ketika hendak memasuki kamar penghuni panti. Aroma tinja dan air seni bercampur mengaduk-aduk seluruh isi perut.

Hebatnya, Alung terus berjuang keras mengatasi rasa mual tersebut. Akhirnya, ia berhasil membersihkan seorang kakek penghuni panti. Dengan telaten, Alung memandikan, menggantikan pakaian, dan menyuapi kakek jompo itu.

Alhasil, bukan sekadar sukses mengatasi rasa jijik, Alung juga menemukan breaktrough (titik balik) yang mengubah jalan hidupnya. Dulu, ia sangat membenci bapaknya. Tapi sejak melayani penghuni panti jompo, Alung malah berbalik mencintai bapaknya, “Kalau bapak saya kembali ke rumah Ibu, akan saya terima. Andaipun tidak, karena beliau sudah punya keluarga baru, beliau tetap bapak saya….” (halaman 284).

Menurut J. Sumardianta, untuk mendampingi para murid, kita memang tidak cukup hanya berenang, tapi harus berani menyaru ibarat kapal selam. Sehingga mampu membawa murid bergerak perlahan di kedalaman makna. Kisah nyata di atas merupakan simbiosis mutualisme dalam buku “Guru Gokil Murid Unyu” ini.

Fasilitator pelatihan guru di Yogyakarta, Solo, Ponorogo, Semarang, Sukabumi, Jakarta, Malang, Surabaya, Dili, dan Makasar tersebut mengatakan bahwa guru gokil memang harus berusaha memahami sisi terang dan gelap karakter setiap muridnya. Magang kerja sosial ialah resep mujarab untuk mengatasi sisi gelap. Nah peran guru di sini sebagai penerang bagi jiwa-jiwa yang sedang menghadapi masalah. Tak heran jika dalam bahasa Sansekerta, kata “guru” berarti ia yang mengusir (ru) kegelapan (gu).

Sistematika buku ini terdiri atas 8 bab. Antara lain “Kacamata Sang Pendidik,” “Alam adalah Guru,” “Hidup untuk Menghidupi,” “Jendela Ilmu,” “Sekolah Bukan Rumah Kaca,” dan “Berkah Guru Kecanduan Buku.” Masing-masing bab memuat refleksi mendalam pria kelahiran 23 November 1966 ini atas dinamika kehidupan sehari-hari. Baik di ruang kelas, di lingkup keluarga, dan masyarakat luas (termasuk lewat artikel media massa).

Alumnus IKIP Sanata Dharma tahun 1992 ini memang sudah aktif menulis di koran sejak masih duduk di bangku kuliah. Resensi pertamanya dimuat di sebuah surat kabar harian (SKH) lokal di kota Gudeg. Buku yang ia ulas ialah “Senyum Karyamin,” kumpulan cerpen Ahmad Tohari. Mendiang dosennya, G. Moedjanto merupakan orang pertama yang menunjukkan jalan setapak di dunia kepenulisan.

Sebagai anak pertama dari 6 bersaudara, J. Sumardianta pernah mengalami hidup serba berkekurangan dari segi finansial. Ibunya seorang pedagang sayur keliling, sedangkan ayahnya hanya pegawai negeri golongan rendah. Sepanjang tahun 1987-1989, ia seolah merasakan “siksa kubur”. Kenapa? Sebab penghasilan kedua orangtuanya jangankan - untuk membiayai uang kuliah di Jurusan Sejarah IKIP Sanata Dharma dan SPP sekolah kelima adiknya - untuk makan sehari-hari saja nyaris tak pernah cukup (halaman 263).

Alhasil, ia acap mengusir rasa frustasi telah terlahir sebagai orang miskin dengan aktivitas membaca di Perpustakaan Kolese Santo Ignatius (Kolsani). Tepatnya di dekat gereja Kota Baru, Yogyakarta. Perpustakaan yang didirikan oleh ordo Jesuit itu memiliki koleksi buku-buku humaniora yang relatif lengkap. Pun terbuka untuk umum setiap hari kerja. Para karyawan di perpustakaan Kolsani itu juga sangat ramah. Di tempat itulah ia menjadi mesin baca yang rakus melahap isi buku.

Ternyata tradisi membaca (reading habit) tersebut merupakan rahmat terselubung (blessing in disguise). Hingga kini, ia terus meng-uri-uri-(melestarikan)nya. Ratusan resensi, esai, dan opini pendidikan ayah 3 putri tersebut banyak bertebaran di media massa nasional dan jurnal akademis terkemuka. Secara lebih reflektif, J. Sumardianta berpendapat, “Memilih tindakan niscaya menghasilkan kesuksesan, menyaring pikiran niscaya menghasilkan kebahagiaan. Tuhan memberi persoalan rumit agar kita mampu mengendalikan diri sendiri. Proses penemuan solusi inilah yang membuat kita tumbuh secara spiritual…” (halaman 191).

Buku setebal 303 halaman ini memverifikasi sebuah kebenaran sederhana, “Semua pasti indah pada waktunya.” Senada dengan petuah Vijay Eswaran, “Jika Tuhan mengabulkan doa Anda, Dia sedang meningkatkan iman Anda. Jika Dia menundanya, Dia sedang meningkatkan kesabaran Anda. Jika Dia tidak mengabulkannya, Dia punya sesuatu yang lebih baik untuk Anda.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Kontributor Tetap di Majalah Pendidikan Online Indonesia http://mjeducation.co/)
1371341044467761509

Tidak ada komentar: