Juni 20, 2013

Mengenal Lebih Dekat Y.B Mangunwijaya lewat Warisan Karya Sastra dan Bangunan Arsitekturnya

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013
http://mjeducation.co/mengenal-lebih-dekat-y-b-mangunwijaya-lewat-warisan-karya-sastra-dan-bangunan-arsitekturnya/

 
Rabu pagi itu (12/6/2013) matahari bersinar cerah, langit biru menaungi kota Gudeg.  Padahal beberapa hari belakangan Yogyakarta lebih sering digelayuti mendung tebal dan bahkan diguyur hujan deras. Tampaknya, alam turut menyambut antusias acara diskusi Great Thinkers di lantai V Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ratusan peserta sudah berkumpul di depan ruangan sejak pukul 09.00 WIB, bagi yang sudah mendaftar mereka langsung melakukan registrasi ulang. Sedangkan bagi para hadirin yang belum mendaftar bisa mengisi buku tamu terlebih dulu.

Tatkala penulis memasuki ruangan seminar ternyata kedua pembicara sudah duduk di bangku barisan terdepan. Beliau berdua ialah Ir. Eko Agus Prawoto, M. Arch, IAI, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dan Prof. Dr. C. Bakdi Soemanto, SU, Budayawan dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Selaku moderator panitia meminta Emil Karmila, M.A untuk mengatur alur diskusi.

Menurut Emil Karmila, Dosen Studi Kebijakan Pascasarjana UGM, sosok Romo Mangun layak diulas dalam seri diskusi Great Thinkers kali ini. Mengapa? karena beliau merupakan seorang budayawan, sastrawan, aktivis kemanusiaan, rohaniwan, dan peraih penghargaan dalam bidang sastra maupun arsitektur.

Selain itu, mendiang Y.B Mangunwijaya juga concern pada pemberdayaan kaum miskin. Beliau berhasil merubah wajah bantaran kali Code yang semula kotor, kumuh, dan dikenal sebagai sarang pencopet menjadi indah, ramah, dan penuh sentuhan manusiawi. Perkampungan miskin di tepi kali Code tersebut kini menjadi lebih bermartabat.

Selanjutnya, pembicara pertama Bakdi Soemanto mengulas sosok Romo Mangun dari aspek sastra. Dosen FIB UGM dan budayawan Yogyakarta itu berpendapat bahwa Y.B. Mangunwijaya mirip dengan Rendra dan Umar Kayam. “Mereka seperti berada dalam satu front. Bahkan ketika Umar Kayam sakit, yang disebut-sebut selalu Rendra, Romo Mangun, dan Goenawan Mohamad,” ujarnya.

Menurut Bakdi Soemanto, nilai-nilai keutamaan hidup yang tertuang dalam karya sastra Romo Mangun terwujud pula dalam tindakan sehari-hari beliau. Kendati demikian, ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemikiran Y.B. Mangunwijaya terutama terkait bidang pendidikan. Begitu beliau wafat, ada seorang Pastor yang berkata, “Tidak ada yang bisa dilanjutkan!”

“Gagasan Romo Mangun memang tak mudah dipahami karena selalu mempertanyakan hampir semua aspek kehidupan, beliau orangnya tidak mau lurus-lurus.  Oleh sebab itu, saya ingin mengajak teman-teman sekalian untuk bertanya juga, siapakah Romo Mangun itu?” katanya.

Dalam paparannya, Bakdi Soemanto menceritakan bahwa Romo Mangun dulu seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Ia pernah turut bertempur dalam perang Palagan Ambarawa karena memang wilayah tugasnya di sana. Lalu, Y.B Mangunwijaya melanjutkan studi di Seminari dan menjadi Romo Projo (Pr).

Selain itu, ada  banyak orang yang belum tahu bahwa saat meletus peristiwa Malari, singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari pada tahun 1974 di Jakarta, Romo Mangun juga mengorganisir 41 Pastor di Yogyakarta untuk mempertanyakan kebijakan penguasa orde baru di bidang politik dan ekonomi yang menyengsarakan rakyat. “Saat itu, saya masih muda, saya juga ikut membagi-bagi pamplet untuk memperjuangkan nasib kaum miskin yang lemah dan tertindas lho,” ujar Bakdi Soemanto sembari mengenang masa lalunya.

Berdasarkan interaksinya dengan Romo Mangun, Bakdi Soemanto menyadari bahwa beliau memang sangat mencintai orang miskin. Hidupnya pun begitu sederhana, kalau tidur di galar, yakni bambu yang dibelah untuk alasnya. Rantang untuk makan Romo Mangun hanya satu dan terbuat dari plastik. “Suatu hari rantang tersebut di-krikiti (dimakan) tikus, saat istri saya menjenguk dan hendak menggantinya dengan rantang yang baru dari seng, beliau tak mau. Saya kagum dengan konsistensi beliau,” imbuhnya lagi.

“Salah satu karya sastra Romo Mangun ialah novel Romo Rahadi. Pada terbitan pertama tahun 1981 beliau menggunakan nama samaran. Baru pada terbitan kedua tahun 1986 penulis menggunakan nama yang sebenarnya. Bagi saya, yang paling menarik dari novel ini adalah satu kutipan dari Ernest Renan:  Keragu-raguan adalah sebentuk penghargaan besar terhadap kebenaran,” ujarnya.

Menurut Bakdi Soemanto, kutipan Ernest Renan dalam novel tersebut mengingatkannya pada ungkapan yang dikemukanan Soren Kiekegard, seorang filsuf eksistensialis-religius berkebangsaan Denmark, adapun ungkapan itu berbunyi, “Fear and trembling, sickness unto death.”  

“Sementara itu, Albert Camus yang sedang dirawat di Sanatorium di Aljazair juga menulis di secarik kertas kepada Eliza, seorang wanita yang sering menemaninya, “It is not simply happiness that I wish for today rather a despair in grandeur.” Terjemahan dalam bahasa Indonesianya bisa berarti,” Bukan sekadar kebahagiaan murahan yang aku inginkan, tetapi suatu keputuasaan dalam kebesaran,” imbuhnya lagi.

Menurut analisis Bakdi Soemanto, apa yang ditulis oleh Renan, Kerkegard dan Camus di atas terjadi pula dalam diri Romo Mangun, bahkan berlangsung sepanjang hidup beliau. Y. B Mangunwijaya terus-menerus gelisah, tetapi sangat tenang dan tabah.

Arsitektur sebagai ekspresi relung jiwa

Selanjutnya pembicara kedua Ir. Eko Prawoto, Dosen Fakultas Teknik di UKDW Yogyakarta tersebut mengulas sosok Y.B. Mangunwijaya dari aspek arsitektur. Bagi  Eko Prawoto, rumah bukan sekadar tempat hunian tapi ekspresi relung jiwa yang terdalam. Ruang secara fisik tak cukup, jadi perlu ada nilai, pemikiran, dan dimensi lainnya.

“Dalam konteks ini menarik jika kita menengok kembali pemikiran dan karya arsitektur Romo Mangun. Di media massa kita bisa menyaksikan banyak bermunculan gedung-gedung secara suka-suka. Kini tak ada lagi idealisme, semua berlomba terjun ke modernisasi.  Dalam arsitektur modern, semua adalah komoditas atau dagangan. Kita pun menjadi riak atau gelombang dari yang tejadi di luar sana, entah itu Jakarta, Singapura, New York, dst,” ujarnya.

“Alhasil, terjadi reduksi kehidupan secara besar-besaran. Manusia hanya melihat yang fisik saja. Padahal substansi yang terutama adalah perkara nilai, gagasan atau sikap batin,” imbuhnya lagi. Menurut Eko Prawoto, Romo Mangun telah jauh lebih dulu berpikir ke depan dan berani berbuat  alternatif. Beliau menganalogikan Indonesia dalam masa transisi  ibarat ikan duyung. Bukan ikan tapi belum jadi manusia. Artinya tidak lagi tradisional tapi juga belum modern.

“Bagi Y.B Mangunwijaya, arsitektur ialah sarana untuk memanusiakan manusia, memerdekakan manusia, menyadari keadaan diri, harga diri, dan identitas diri sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara setara,” ujarnya.

“Sekarang bangunan dinilai bagus kalau mahal, sedangkan kalau murah itu selalu jelek. Inilah  kecenderungan komodikasi di bidang arsitektur. Akar masalahnya, karena pandangan hidup yang sepotong-sepotong dan tak utuh. Alhasil, perasaan batin, hubungan dengan alam, nilai-nilai tak terlihat (intangible values) tak mendapat ruang,” imbuhnya lagi.  


Kemudian, Eko Prowoto menampilkan gambar-gambar bangunan karya arsitektur Romo Mangun, antara lain Gereja Maria Asumpta di Klaten, Gua Maria Sendang Sono di Kulon Progo, dan Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Kuwera Yogyakarta.

“Prinsip bersatu hukum dengan alam diterapkan di sana. Misalnya kalau kita sekarang sumuk (panas) langsung pasang AC, rumah kurang terang tambahi lampu. Padahal bangunan bukan suatu entitas lepas, tapi satu kesatuan dengan alam sekitar. Kan bisa ditambahi ventilasi udara dan dipasangi genteng kaca,” ujarnya.

Menurut Eko Prawoto Romo Mangun juga menghargai lokalitas. Batu kali, bambu, kayu ditempatkan sesuai fungsinya. Bambu yang bengkok dan lentur tak dipaksa jadi lurus dan keras seperti besi beton.

“Kaidah selanjutnya ialah hemat ruang dan biaya. Barang sekecil apapun dihargai oleh Romo Mangun. Bahkan di DED Kuwera ada gudang khusus, isinya potongan kayu 2x3 cm ditumpuk rapi, semuanya masih bernilai dan bisa dipakai lagi. Dari situ terbersit makna simbolis, apa yang semua dipandang hina dan dibuang, tapi bagi seorang arsitek andal itu semua tetap bermakna dan bermanfaat juga,” ujarnya.

Pada sesi tanya-jawab, salah satu peserta bertanya apakah konsep-konsep arsitektur tersebut juga diterapkan dalam pendidikan oleh Romo Mangun. Menurut Eko Prawoto, Y.B Mangunwijaya mengadakan eksperimen pembelajaran di SD Mangunan.  Beliau memang begitu perhatian pada pendidikan anak usia dini. Anak-anak tersebut dibiasakan berpikir kritis, kreatif, integratif, dan eksploratif.

Misalnya dengan melihat beberapa peristiwa secara simultan (sekaligus). Dalam pelajaran sejarah tentang perang Diponegoro tak hanya jatuh korban jiwa manusia, tapi ada jembatan yang rusak, harimau yang tertembak mati di hutan, dll. Intinya ada banyak kejadian yang serempak terjadi saat itu. Dari proses pembelajaran sederhana tersebut, anak-anak terbiasa berpikir secara tidak linear tapi holistik.

Di akhir acara, penulis sempat mewawancarai salah seorang peserta diskusi publik. Menurut Theo Rifai, Mahasiswa semester VI, Fakultas Teknik Jurusan Aristektur, Universitas Atma Jaya (UAJY) Yogyakarta itu ia mendapat sesuatu yang berbeda. “Romo Mangun berani berpikir dan bertindak melawan arus, ia juga berjuang bagi masyarakat kecil di tepi kali Code,” ujarnya. 

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: