Juni 13, 2013

Menabur Benih Harapan dari Dalam Kelas

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia edisi Cetak, Juni 2013

Farel, Juan, Pandya, Amabel, dan Tita belum genap 6 tahun. Namun dua jempol patut diacungkan untuk siswa-siswi KP (Kelompok Persiapan) di Yayasan Pendidikan Mata Air Yogyakarta tersebut. Sebab mereka sudah belajar berbagi sejak dini.

Pasca mengikuti pelajaran ekstrakurikuler Bahasa Inggris setiap Jumat pagi, mereka menyantap bekal masing-masing. Ada yang membawa sayur brokoli, buah strawberry, kue serabi, dan sebungkus biskuit. Sebelumnya, Bunda Siska, wali kelas di sana mengajak seluruh siswa berdoa bersama, yakni dalam rangka mengucap syukur atas rejeki yang diberikan hari ini.

Lantas, agar bisa lebih menikmati santapan aneka rasa, mereka saling berbagi satu sama lain. Alhasil, semua bisa menyantap buah, sayur, dan makanan kecil (snack). Kebersamaan tersebut terasa indah. Lewat pengalaman sederhana ini, jiwa sosial dan rasa solidaritas anak didik dipupuk sejak dini.

Pada usia golden years (usia emas 5-12 tahun), pembelajaran budi pekerti memang penting sekali, sehingga kelak menjadi kebiasaan hingga mereka beranjak dewasa. Menurut Anand Krishna Ph.D, contoh pendidikan terbaik di dunia ialah Finlandia. Di sana ada 4 kunci utama pembelajaran anak, yakni Quality (Mutu), Efficiency (Efisiensi), Equity atau Equility (Kesetaraan) dan Internationalisation (Berwawasan Internasional/Kemanusiaan) (Sumber: www.edu.fi/english). Dalam konteks ini, kesediaan berbagi bekal makanan dengan sesama teman sekelas menjadi latihan berbela rasa dan empati.

Selain itu, konsep cura personalis pun berdasar pada keyakinan bahwa setiap anak itu unik. Tuhan terlalu kreatif menciptakan dua anak manusia yang persis sama sehingga pendekatan personal terhadap masing-masing individu menjadi signifikan.

Itulah sebabnya, di  dalam kelas  TK Mata Air maksimal hanya ada 10 siswa. Sehingga para guru bisa fokus mendampingi anak didiknya.  Interaksi antara sang pendidik dan para murid pun bersifat dialogis. Misalnya, tatkala membahas ihwal dunia fauna. Para murid bebas mengusulkan hewan apa yang hendak mereka pelajari bersama. Kemudian baru sang guru mencari referensi terkait subjek tersebut.

Keunikan lainnya terletak pada fase eksplorasi. Saat membahas tentang pesawat terbang mereka tak hanya berteori, tetapi mereka juga belajar membuat kerajinan miniatur pesawat. Tapi tak perlu membeli bahan-bahan di toko, mereka memanfaatkan limbah kertas yang tak terpakai. Sehingga sejak dini anak didik menjadi peduli lingkungan sekitar.

Beragam Inteligensia

Selama ini terpatri mitos bahwa siswa cerdas itu hanya yang jago berhitung, ulangan matematikanya mendapat nilai 10. Kemudian, saat penjurusan di SMU juga harus masuk ke kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Padahal kecerdasan angka sekadar satu tolok ukur, setidaknya masih ada 7 inteligensia lain yang tak kalah penting.

Dalam konteks ini, penulis bersepakat dengan tesis Prof. Gardner. Ia memaparkan secara rinci dalam The Theory of Multiple Intelegence (1983).

Pertama, kecerdasan visual. Anak mudah membayangkan pelbagai bentuk maupun ruang di benaknya. Ia memiliki daya imajinasi kuat.

Kedua, kecerdasan olah gerak tubuh alias kinestetik. Anak lebih mudah mengekspresikan perasaan atau gagasan lewat gerakan. Umumnya, ia memiliki badan atletis karena rajin bergerak dan berolahraga.

Ketiga, kecerdasan bermusik (musikal). Mozart, Bach, Beethoven, Adjie M.S, Erwin Gutawa, Djaduk Ferianto, dll. Mereka semua piawai memadukan aneka bebunyian menjadi harmoni indah. Anak yang memiliki kemampuan seperti ini cocok menjadi komposer, pemain musik serta dirigen dalam pentas musik.

Keempat, kecerdasan sosial (interpersonal), yaitu kemampuan memahami perasaan, watak, dan sifat seseorang. Anak yang memiliki kemampuan seperti ini mudah menjalin relasi dengan teman-temannya. Kemampuan jenis ini penting untuk sosialisasi.

Kelima, kecerdasan intrapribadi. Anak memiliki kemampuan beradaptasi dengan diri sendiri. Ia mudah mengendalikan dirinya. Tipe ini cenderung pendiam, sering merenung, dan berbicara dengan diri sendiri. Biasanya mereka lebih suka menyepi ketimbang berkelompok.

Keenam, kecerdasan lingkungan (naturalis), yakni kemampuan mengenali dan memahami lingkungan sekitar. Anak yang memiliki kecenderungan tersebut senang beraktivitas di alam, antara lain seperti bercocok tanam, berkemah, dan mengamati flora/fauna.

Terakhir tapi penting ketujuh, kecerdasan eksistensial. Ini menyangkut persoalan mendasar dalam diri manusia. Anak yang memiliki kecerdasan tersebut biasanya cenderung bertanya-tanya dalam hati. Antara lain: sebelum aku dilahirkan aku di mana? apa tujuan hidupku? apa yang terjadi setelah kematian? Dalam tradisi Kejawen disebut Sangkan Paraning Dumadi.

Mengingat kecerdasan setiap anak didik berbeda-beda, kita para guru mesti menggali aneka kecerdasan anak didik. Pun menerapkan pendekatan sesuai kecenderungan siswa tersebut. Alhasil, pembelajaran menjadi lebih mudah, menyenangkan, dan efektif.

Waldwoche

Sedikit sharing, penulis sempat menjadi fasilitator siswa-siswi TK Kinderstation di PKBM (Sekolah Alam) Angon http://www.angon.org/, Mustokorejo, Sleman, Yogyakarta. Salah satu agenda yang paling ditunggu peserta ialah panen ketela ungu.

Anak-anak berusia 4-7 tahun tersebut bersiap di sekitar sepetak tanah yang dipenuhi tanaman ubi jalar. Karena mentari bersinar lumayan terik, ada yang mengenakan caping untuk melindungi wajah, rambut, dan kulit kepala. Mereka tampak seperti rombongan petani cilik.

Belajar mencintai alam sebaiknya memang ditanamkan sejak usia dini. Tak hanya lewat ceramah dan teori, tapi langsung praktik di lapangan. Tema pelajaran hari itu ialah change alias perubahan. Penulis memaparkan bagaimana sebatang lung ketela ungu butuh waktu 4 bulan (120 hari) sebelum bisa dikonsumsi manusia. Bahkan saat memanen pun ada tahapan-tahapannya.

Pertama, bersihkan areal kebun dari dedaunan dan ranting kering.

Kedua, siapkan cikrak (semacam cangkul kecil).

Ketiga, mulailah menggali tanah perlahan-lahan agar memudahkan proses anak-anak dikelompokkan. Masing-masing terdiri dari 4 anggota, sehingga mereka sekaligus belajar bergotong-royong.

Uniknya, bila ada satu anak yang belum berhasil mendapat ketela ungu, anggota kelompok yang lain harus membantu. Seluruh hasil panenan mereka kumpulkan di dalam ember khusus. Mereka boleh membawanya pulang untuk digoreng atau direbus.

Pada sesi refleksi, penulis menguraikan lebih lanjut manfaat ubi jalar berwarna ungu tersebut. Ternyata, tanaman merambat yang sering dibudidayakan petani di dataran tinggi berhawa sejuk tersebut dapat juga dibuat menjadi es krim.

Ibu Bety Nursahati, warga Jalan Imam Bonjol, Salatiga ialah pelopornya. Ketela ungu dipilih sebagai bahan dasar pembuatan karena kaya kandungan nutrisi, antara lain protein, karbohidrat, kalori, kalsium, fosfor, zat besi, dan beta karoten. Selain itu, es krim ketela ungu sangat alami. Kenapa? Karena tidak mengandung bahan pengawet, sehingga aman dikonsumsi anak-anak dan orang dewasa.

Menurut Hennie Triana Obert - ibunda seorang putri yang pernah menetap di Jerman - anak-anak memang perlu rutin mendapat pelajaran Waldwoche semacam ini. Wald artinya "Hutan", sedangkan Woche sinonim dengan hari libur. Di sana, tidak semua lahan boleh dijadikan pemukiman penduduk.

Biasanya setiap kota memiliki taman ataupun hutan kecil yang dilindungi. Setiap akhir pekan, anak-anak bisa menghabiskan waktunya di alam bebas mengobservasi satwa dan aneka flora. Tentu didampingi oleh para guru yang kompeten dan berdedikasi.

Pendidikan Karakter

Seorang ayah bercerita pengalaman nyatanya pada Rhenald Kasali. Si ayah pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anaknya belajar di Amerika Serikat (AS). Kenapa? karena karangan berbahasa Inggris yang ditulis anaknya diberi nilai E (Excellence). Artinya sempurna, hebat, bagus sekali.

Padahal anaknya baru tiba di negeri Paman Sam itu. Ia pun baru mulai belajar bahasa Inggris. "Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya. Kemampuan verbalnya sangat terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya terlalu sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, tapi dia menyerah," tandasnya.

Tulisan itulah yang kemudian diserahkan si anak kepada gurunya. Tapi alih-alih diberi nilai buruk, malah dipuji-puji. Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, sang ayah khawatir anaknya gampang berpuas diri.

Uniknya, tatkala ia protes ke sekolah, ibu guru yang menerimanya hanya bertanya singkat, “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab si ayah. Sang guru pun tersenyum simpul. Ternyata pertemuan itu menjadi titik balik perubahan paradigma si ayah. Itulah saat di mana ia mengubah cara dalam mendidik anak.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu orang tua dari Indonesia yang anaknya belajar di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang anak didik agar maju. Istilah kerennya, Encouragement!”

Sang guru melanjutkan argumentasi berdasar pengalaman di lapangan. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini sebuah karya yang hebat,” ujarnya sembari menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat si anak. Dari diskusi itu sang ayah mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran pribadi.

Dalam konteks ini, para guru di Amerika sungguh memajukan anak didiknya. Pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah dan novelis hebat. Bahkan sampai dapat memenangkan nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter gurunya sangat kuat, yakni karakter yang membangun, bukan justru merusak.

Kita para pendidik di Indonesia dapat memetik hikmah dari kisah di atas. Orang hebat tidak pernah terlahir dari rahim ketakutan. Temuan baru dalam ilmu otak pun menunjukkan bahwa pikiran manusia tidak statis. Kelenjar otak dapat mengkeret (mengecil) sekaligus sebaliknya bisa tumbuh, berkembang, dan mekar.

Pungkasnya, mari mendorong perubahan, bukan ancaman. Keakraban lebih indah ketimbang - meminjam istilah Paulo Freire - keterasingan (alienasi). Saatnya menabur benih harapan mulai dari ruang kelas masing-masing. Salam Pendidikan!

Dari kiri ke kanan: Amabel, Tita, Uncle Nugie, Pandya, Juan, Farel 
(Fotografer: Bunda Siska)

Tidak ada komentar: