Juni 30, 2012

Tentang Mereka yang Legawa terhadap Hidupnya

Dimuat di Jawapos, Minggu/1 Juli 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur.

Judul: Berjalan Menembus Batas
Penulis: A. Fuadi, dkk
Penyunting: M. Iqbal Dawami dan Ikhdah Henny
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/Maret 2012
Tebal: xvi +172 halaman
Harga: Rp39.000
ISBN: 978-602-8811-62-0

Batasan hanya ada dalam pikiran yang sempit. Manusia sendirilah yang menciptakan limit (garis pembatas) tersebut dalam benaknya. Tak heran dalam bahasa Inggris ada istilah, “Sky is the limit."  Lewat buku ini A. Fuadi dkk membongkar mitos tersebut. Batasnya bukan lagi langit, tapi  berbanding lurus dengan spirit untuk terus berjuang.

“Berjalan Menembus Batas” berisi 13 kisah nyata. Semula naskah yang masuk ke meja redaksi mencapai 80 artikel. Sebuah angka yang fantastis. Kenapa? karena rencana penerbitannya kurang dari sebulan. Buku ini terbagi atas 3 bab: Melawan Keterbatasan Hidup, Menahan Rasa Sakit, dan Menembus Batas Usaha. Lakon-nya bukan politisi atau selebritis yang jadi sorotan media karena ketahuan korupsi dan kawin-cerai, tapi rakyat jelata kebanyakan. Wong cilik yang legowo hidup apa-adanya.

Salah satunya bernama Rina Shu. Wanita ini terlahir dengan penyakit muscular dystrophy. Sepasang kakinya lumpuh. Akibat kelainan genetik yang menyerang fungsi otot. Ketika balita lain mulai merangkak, Rina tak pernah mengalami langkah kaki pertama di tanah. Untungnya, kedua orang tua Rina bersikap nrimo saja. Mereka tetap mengupayakan si kecil merasakan hidup senormal-normalnya. Bapak dan ibu tak pernah malu dengan keberadaannya. Bahkan Rina acapkali diajak ke kantor. Mereka membanggakannya di depan para rekan kerja. Hal ini membuat Rina tumbuh menjadi remaja yang penuh percaya diri.

Kendati demikian, saat duduk di bangku SMA, tubuh ringkihnya tak kuasa menahan himpitan beban fisik dan mental. Akibat tanggungjawab besar sebagai seorang pelajar. Penyakit asmanya pun sering kambuh. Alhasil, ia menjadi langganan rumah sakit. Setiap bulan Rina keluar-masuk untuk berobat. Bahkan bukan hanya dia yang sakit-sakitan, ibunya juga terserang stroke. Sehingga terpaksa beraktivitas di atas kursi roda.

Di negeri ini tak ada makan siang gratis. Biaya rumah sakit pun begitu mahal. Kondisi keuangan keluarga kian terpuruk. Uang pensiunan sekadar untuk menyambung hidup. Tabungan sudah ludes. Karena harus membayar ongkos operasi kanker usus ayah. Dengan berat hati, Rina memilih berhenti sekolah. Terbayang cita-citanya mau jadi ahli bahasa dan psikolog. Saat itu, gambarannya kian memudar. Namun, itulah keputusan yang terbaik.

Teman-teman datang menjenguk ke rumah. Mereka mengucapkan kata perpisahan sembari melinangkan air mata. Para guru menggenggam jemari tangan Rina. Mereka memberi dukungan bahwa hidup tetap bisa maju walau tanpa ijasah. 

Menulis

Hari-hari permulaan di rumah sungguh membosankan. Rina tak mau hidupnya berakhir seperti ini. Alpa memberi makna pada dunia. Betapa nista hidup ini, ibarat seonggok daging yang tercampak di atas bumi, lalu hilang ditelan waktu. Ia bertekad untuk berbuat sesuatu (halaman 105).

Kemudian Rina teringat kegemaran lamanya, yakni menulis. Ia mulai berpikir untuk memberi arti pada eksistensi. Caranya lewat merangkai kata di atas selembar kertas. Rina berinisiatif menulis cerpen dan mengirimnya ke majalah remaja. Namun berkali-kali ia menelan kekecewaan. Karena naskahnya dikembalikan bersama surat penolakan. Rina sempat ngambek dan mogok menulis. Ia merasa terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari dunia jurnalistik. 

Akibatnya, ia kian terbenam dalam lembah keputusasaan, “Barangkali aku memang diciptakan untuk jadi manusia yang sekadar bernapas. Tanpa perlu memberi sumbangsih bagi dunia yang sudah mengijinkan aku tinggal di dalamnya (halaman 106).” Singkat cerita, tiada yang abadi, pun termasuk kemalangan hidup. Rina kembali bangkit. Kecintaannya pada aksara - ditambah kondisi keluarga yang kian terpuruk - memaksanya untuk kembali bertekun dalam jagat kata.

Ternyata, ia menemukan ketenangan dan rasa aman saat menulis. Pena dan kertas menjadi sahabat terbaik. Rina bisa mencurahkan segala duka, suka, dan kecewa pada mereka.Tapi sekarang ada sedikit perubahan, ia tak lagi menulis cerpen. Rina memberanikan diri menulis novel. Setiap hari ia menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat di atas lembaran kertas folio bergaris. Saat itu, ia tak memiliki komputer. Alhasil, prosesnya relatif lebih  lama.

Namum Rina percaya pada pepatah lama. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada komputer pena pun oke. Alasannya masuk akal, kalau meununggu sampai ada komputer, waktunya akan terbuang sia-sia. Ada satu kisah menggetarkan. Sang ayah merasa bersalah karena tak bisa membelikan laptop. Di tengah penderitaan merasakan nyeri akibat kanker paru-paru, ayahnya menghampiri Rina di kamar. Beliau meminta maaf.

Hal itu kian memacu semangat Rina untuk menyelesaikan novelnya. Sehingga bisa membahagiakan keluarga dan mendapat penghasilan tambahan untuk mereka. Ironisnya, sang ayah terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Sebelum novel itu terbit. Untuk mengenang kasih beliau, Rina menambahkan nama “Shu” di sampul buku. “Shu” merupakan modifikasi dari kata “Soerachmad”, nama belakang ayahnya (halaman 108).

Pada Januari 2011 Rina Shu menerbitkan novel pertama Kimi Shinjeteru secara independen (indie). Banyak komentar positif dari sidang pembaca. Ia berharap karyanya tak hanya memberi hiburan, tapi juga menyuntikkan inspirasi.

Hebatnya, pasca menjadi penulis terkenal, Rina Shu tetap rendah hati. Ia justru teringat pada teman-teman difabel lainnya. Menurut analisis dan pengalaman pribadinya, kaum difabel sungguh sulit meraih kesejahteraan hidup. Namun sejatinya kendala itu bukan terletak pada keterbatasan fisik, melainkan pada kekurangseriusan pemerintah dalam menjamin apa yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Dalam hati, Rina Shu berjanji untuk mengangkat harkat hidup para difabel. Ia hendak membuktikan pada dunia bahwa mereka dapat memberi arti besar dalam hidup ini.

“Kaki ini boleh lumpuh, dan tak bisa membawaku ke tempat-tempat yang kuinginkan. Namun untuk melangkah sesungguhnya tidak memerlukan kaki. Yang diperlukan untuk melangkah adalah semangat yang besar…” (halaman 111).

Ugahari

Buku ini juga memuat petuah Kyai Imam Zarkasyi. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur. Pak Kyai pernah menampilkan simulasi unik untuk para santrinya. Dengan menggunakan alat peraga berupa 2 bilah golok. Yang satu tajam berkilau karena baru saja diasah.

Sedangkan yang satu tumpul dan sudah berkarat. Sembari mengobrol santai di depan kelas, Pak Kyai menggenggam golok yang tajam di tangan kanan. Lantas menebaskannya tepat ke sepotong kayu. Tapi, seinchi sebelum menyentuh kayu, syahdan ayunan golok terhenti. Alhasil, kayu tersebut tetap utuh dan tidak terpotong sama sekali.

Lantas, beliau beralih menghunus golok tumpul yang sudah karatan. Kali ini, ekspresi wajahnya sangat  serius. Dengan sekuat tenaga, beliau mengayunkan ke arah balok kayu itu. Duk! Golok menghajar balok. Tapi tak terjadi apa pun. Pak Kiai mengulangi berkali-kali sampai akhirnya Plar! Balok kayu terbelah menjadi 2 dihantam golok karatan dan tumpul (halaman xiv).

Lewat kisah tersebut, A. Fuadi hendak mengenang petuah Pak Kyai. Orang pintar bagai sebilah golok tajam. Tapi kalau tidak serius dan malas-malasan, belum tentu bisa menebas kayu. Kepintaran sia-sia tanpa dibarengi tindakan nyata. Sementara itu, orang yang biasa-biasa saja ibarat sebuah golok tumpul dan karatan. Walau otak tak begitu cemerlang, kalau terus bekerja keras dan tak pernah menyerah asa lambat laun pasti berhasil.

Bayangkan kalau golok karatan terus diasah dengan rajin. Ibarat keahlian yang terus dilatih. Abraham Lincoln pun mengatakan, “Kalau saya punya 8 jam untuk menebang pohon, saya akan gunakan 6 jam pertama untuk mengasah kapak.” Dalam konteks ini, persiapan merupakan setengah perjalanan menuju keberhasilan.

Ada satu kesaksian unik lainnya. J. Sumardianta menuliskan kisah dalam Blind Spot (halaman 65). Ia guru sosiologi di SMA swasta khusus laki-laki di Yogyakarta, yang memperbolehkan para murid berambut gondrong (panjang). Selain itu, Sumardianta juga menekuni profesi sebagai penulis lepas. Esai, opini dan resensi pria berusia 45 tahun tersebut acapkali menghiasi lembaran koran lokal dan nasional.

Ironisnya, sejak Oktober 2006 silam, ayah 3 putri ini tak kuat lagi berlama-lama di depan layar komputer. Pun kalau dipaksakan, huruf-huruf di monitor seperti bisa melonjak dan menari-nari. Pasca berkonsultasi dengan dokter, semuanya menjadi gamblang. Ternyata ia mengidap penyakit hipertensi mata (ocular hypertension). Lazimnya, tekanan bola mata seseorang ada pada kisaran 10-20 mmHg. Pada diri Sumardianta, tekanan bola mata mencapai 21 mmHg.

Alhasil, aliran cairan bola mata (aqueous humar) dari balik mata depan ke lapisan luar mata tersendat. Sebagai solusi, ia menjalani terapi dengan 2 obat mata sekaligus. Satu untuk mengairi mata. Satu lagi untuk mengendurkan tekanan bola mata.

Mata yang bermasalah menyadarkan dirinya untuk memohon rahmat Tuhan (nyuwun pangertosan menggah winatesing diri). Secara jujur, ia mengakui, “Dulu saya sempat menolak dan menyangkal memiliki mata yang bermasalah. Kini, saya merasakan bahwa kebahagiaan itu justru ditemukan dalam kenyataan hidup yang memprihatinkan dan serba kekurangan (halaman 70).

Hebatnya, kendala fisik tersebut tak membuat Sumardianta menyerah pada nasib. Ia malah semakin rajin membaca buku. Sebab dengan mengirim resensi ke redaksi surat kabar tertentu pada tanggal muda, biasanya akan dimuat pada tanggal tua. Inilah resep cespleng (mujarab) untuk memelihara profesionalisme di tengah fakta cekaknya penghargaan finansial bagi para pendidik. Menurutnya, honor sebuah resensi dari media cetak nasional ditambah insentif dari penerbit (tak jarang) lebih besar ketimbang gaji yang ia bawa pulang setiap bulan (halaman 72).

Lantas, guna mensiasati kinerja bola matanya yang terus menurun, Sumardianta menggunakan teknik membaca cepat (speed reading) dan melompat-lompat (skimming). Kelelahan mata tatkala menulis di depan layar laptop diakali dengan istirahat rutin setiap 10-15 menit. Baginya, menulis harus ugahari alias tidak terburu nafsu. Senada dengan pepatah Kejawen, “Alon-alon waton kelakon.”

Tak ada gading yang tak retak. Kelemahan buku ini hanya membatasi diri pada masalah finansial, kesehatan, dan ketiadaan pekerjaan. Padahal masih banyak aspek lain yang bisa dieksplorasi. Sebagai rekomendasi, ke depannya, bisa dilengkapi dengan pengalaman bagaimana mengatasi keterbatasan relasi. Misalnya kisah mantan tapol yang dikucilkan oleh masyarakat. Sehingga ia bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar dst.    

Terlepas dari kelemahan tersebut, kisah-kisah dalam buku setebal 172 halaman ini sungguh membuktikan keampuhan mantra, “Siapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil (man jadda wajada)." Sepakat dengan pendapat A. Fuadi, Sesungguhnya, setelah kesulitan itu selalu ada kemudahan. Setelah kita jatuh, ruangan yang kosong hanya ke atas. Yakni untuk menjadi lebih baik dan lebih kuat.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Jogjakarta) 


Juni 26, 2012

Berpikir Global Bertindak Lokal

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, Selasa-Rabu/26-27 Juni 2012

Seluruh umat manusia kembali merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (HLHS) pada 2012. Sejak 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memang menetapkan World Environment Day (WED). Sebagai wahana 7 milyar penduduk Bumi mengingat kembali arti penting lingkungan sekitar dalam hidup sehari-hari.

Tahun ini PBB mencanangkan tema Green Economy: Does it Include You? Artinya, ekonomi hijau harus melibatkan semua pihak. Termasuk negara, swasta, dan komunitas lokal. Sebab pasca revolusi industri business as usual alias ekonomi pada lazimnya justru mengeksploitasi Ibu Bumi.  Keuntungan material menjadi tolok ukur tunggal. Demikian pernyataan dari laman resmi United Nations Environment Programme (UNEP).

Konsep ekonomi hijau mulai diperkenalkan UNEP sejak 2008. Sebagai panduan komprehensif dan mekanisme praktis seputar investasi. Mereka bertekad "menghijaukan" sektor yang tidak ramah terhadap kelangsungan sumber daya alam (SDA) dan keanekaragaman hayati.

Alhasil, green economy tidak melemahkan pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Bahkan pendekatan ini justru membuka lapangan kerja baru. Misalnya dalam proyek rendah karbondioksida (CO2). Berupa pengelolaan sampah, biogas, dan solar panel (pembangkit listrik tenaga surya). Terutama di lingkup komunitas lokal.

Contoh konkritnya ialah usaha Josrizal Zain. Salah satu penerima anugerah Kalpataru kategori Pembina Lingkungan Hidup (2012). Di Kelurahan Balai Nan Tuo, Kecamatan Payakumbuh Timur, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat ia menciptakan Pasar Tradisional “Ibuh”. Zain membina 2.500 pedagang kaki lima untuk mengelola sampah pasar menjadi kompos yang notabene bernilai ekonomis.

Selanjutnya, kiprah Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan. Paguyuban ini beralamat di Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Selama 22 tahun terakhir, mereka membangun 883 unit instalasi biogas secara swadaya. Yakni sebagai sumber energi alternatif. Total 1.215 KK di 12 desa bisa memasak, menjarang air panas dan menerangi rumah secara “hijau”.

Dari kalangan akademisi, ada juga aksi unik. Puluhan mahasiswa Universitas Muria Kudus (UMK), Jawa Tengah mencabuti paku di pepohonan sepanjang jalan protokol kota. Awalnya dari sejumlah pohon di kawasan Alun-alun Kudus.

Selama ini, pohon-pohon di tepi jalan protokol acapkali ditempeli poster kampanye dan media promosi lain. Paku-paku tajam menembusi batangnya. Tak sekadar beretorika ihwal kecintaan lingkungan, para mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UMK itu mencabuti paku-paku satu per satu.

Semula pepohonan tersebut memang berfungsi untuk penghijauan bukan untuk iklan. Selain mencabut paku, mereka juga memungut sampah di sepanjang jalan. Kemudian, aktivis lingkungan tersebut membawa papan bertuliskan, "kawasan bebas sampah". Mereka memasangnya di sejumlah lokasi yang sering dijadikan tempat pembuangan sampah (TPS) liar. Terakhir, mereka menanam puluhan bibit pohon di sepanjang bantaran Sungai Gelis.


Sri Sultan Hamengku Buwono X juga menaruh perhatian pada masalah lingkungan hidup ini. Secara khusus, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut berpidato di TVRI Yogyakarta (5/6).

Menurut Ngarso Dalem perubahan paradigma secara fundamental menjadi urgen. Yakni dari “atur dan awasi” menjadi “atur diri sendiri”. Dari pendekatan profit semata ke pendekatan ekosistem. Dari peningkatan produktivitas menuju penghematan bahan bakar dan air.

Dalam pemanfaatan air misalnya. Ada 3 kata kunci: Reuse, Reduce, Recycle. Reuse memanfaatkan kembali air bekas mandi untuk mencuci motor atau mobil. Reduce menggunakan air secukupnya saja alias tidak boros. Recycle, air yang sudah dipakai bisa didaur ulang untuk dimanfaatkan kembali.

Pada hemat penulis, keterlibatan keluarga dan sekolah juga penting. Misalnya dengan mulai memilah sampah organik/anorganik, menanam pohon di pekarangan, membuat sumur biopori untuk peresapan air hujan, bersepeda sebagai moda transportasi jarak dekat, dll. Sehingga sejak dini, anak-anak belajar mencintai lingkungan. Ini yang kami lakukan di sekolah alam Angon.

Kembali ke masukan dari Sri Sultan. Raja Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut juga mengajak keluarga yang memiliki pekarangan sempit untuk tetap memanfaatkannya. Yakni dengan menanam sayuran dan tanaman obat. Warga dusun Ngasem di Kompleks Pemandian Keraton Taman Sari telah melakukan kegiatan tersebut.  Pada taman di depan pos kamling tertulis, “I love green and clean!” (Saya cinta hijau dan kebersihan!)

Ternyata lewat prilaku ramah lingkungan dalam skala kecil (baca: lokal), kita dapat berkontribusi dalam peningkatan kualitas lingkungan secara global. Senada dengan tamsil, “Berpikir secara global, bertindak secara lokal”. Akhir kata, merespon tema HLHS PBB 2012, “Green Economy: Does it Include You?” Yes, it does! (Ekonomi Hijau, Apakah Melibatkanmu? Ya, tentu!). Salam hijau....(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di Sekolah Alam Angon Yogyakarta)

Pendidikan (Harus) Ceria dan Memerdekakan

Dimuat di Rubrik Nguda Rasa, Koran Merapi, Selasa/26 Juni 2012

Pernyataan Richard Carlson, Ph.D ada benarnya. Penulis buku Don't Sweat the Small Stuff (2000) itu mengingatkan satu fakta penting. Tatkala suasana hati sedang buruk, itu bukan saat tepat untuk menganalisis hidup. Dalam situasi batin negatif, apapun relatif terasa berat. Karena perspektif cenderung menyempit.

Dalam konteks pembelajaran di kelas, penulis menerapkan tesis di atas dengan melakukan ice breaking (pemecah kebuntuan). Terutama saat sebelum memulai pelajaran. Tujuannya menciptakan suasana hati ceria. Sehingga para murid siap belajar materi baru. Ada 1001 macam metode. Sumber referensinya antara lain 103 Additional Training Games  (Kroehnert :2 006).

Ada teknik favorit kami. Yakni, bertepuk-tangan dan tertawa bersama. Dengan bertepuk tangan, menurut Maya Safira Muchtar, titik-titik syaraf di telapak tangan niscaya terstimuli. Otomatis peredaran darah di sekujur tubuh menjadi lancar. Otak pun jadi segar.

Agar lebih efektif dan terasa manfaatnya perlu dilakukan sambil berdiri. Selain itu, kita para guru bisa kreatif membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Masing-masing grup bertepuk tangan dengan cara dan ritme berbeda. Sehingga dapat tercipta suara harmoni tepuk tangan nan indah. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan tertawa bersama, "Ha ha ha ho ho ho he he he hi hi hi...". Menurut Madam Katrina, pelopor klub tawa di India, 1 menit terbahak-bahak setara efeknya dengan 20 menit olahraga ringan (sumber: http://circleoflaughter.com/).

Tim ilmuwan dari Loma Linda University Schools of Allied Health (SAHP) di Amerika Serikat telah membuktikan asumsi ini. Tertawa tidak hanya membuat perasaan menjadi lebih positif, tetapi juga menurunkan tingkat stres, meningkatkan imunitas tubuh, menurunkan kolesterol, dan menormalkan tekanan darah. 

14 responden diminta menonton video komedi berdurasi 20 menit. Sebelum dan pasca menonton, mereka diukur tekanan darah dan diambil sampel darahnya. "Tertawa menyebabkan berbagai modulasi dan respons positif dari tubuh," kata Dr. Lee S. Berk, salah satu peneliti, seperti dikutip Times of India. Dr. Berk juga melihat terapi tawa sebagai alternatif untuk meningkatkan nafsu makan. Hasil penelitian ini pernah dipresentasikan dalam konferensi Biologi Eksperimental (2010).

Kembali ke lokus pembelajaran di sekolah. Tak ada salahnya, para guru datang ke kantor lebih awal. Pasca berdoa pagi bersama dapat pula ditambah dengan prosesi tertawa terbahak-bahak 1 menit. Sehingga tatkala para pendidik memasuki ruang kelas, kita tak hanya siap berbagi ilmu, tapi juga keceriaan.

Memerdekakan

Menurut Ki Tyasno Sudarto, tujuan pendidikan tak lain untuk mendidik anak bangsa menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan tenaganya. Meminjam metafor Ki Hadjar, "Bukan manusia nunggang motor mrebes mili (naik motor dengan menangis), tetapi mikul dawet rengeng-rengeng (memikul cendol yang berat dengan menyanyi)." (Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, 2008)

Salah satu tolok ukurnya ialah faktor kemandirian. Dewasa ini, para lulusan kita cenderung mau cemanthel. Alias bergantung pada orang lain. Ketergantungan tersebut sangat berbahaya. Kenapa? Karena kalau induk tempat bergantung ambruk, maka orang yang bersandar tadi juga akan roboh. Dalam konteks ini, pendidikan kewirausahaan (enterpreneurship) kian relevan. Sehingga para siswa belajar berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).

Analogi yang digunakan Ki Hadjar Dewantara sangat menarik. Pendiri Tamansiswa tersebut mengajak segenap sivitas akademika belajar dari cicak. Si cicak tak pernah sekolah, bahkan tidak mengantongi gelar sarjana, akan tetapi cicak tak pernah menganggur. "Ia" tahu di mana tempat mencari makan. Jika ada lampu terang, maka di situ niscaya banyak nyamuk berdatangan. Merayaplah si cicak ke sana, menangkapi nyamuk-nyamuk sebagai santapan lezatnya.

Sungguh ironis, saat ini tatkala sebuah institusi pendidikan menggelar job fair, ribuan lulusan universitas dan sekolah menengah antri sejak pagi hari. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang. Angka ini naik sebesar 3 juta orang dibanding Agustus 2011 yang notabene berjumlah 117,4 juta. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,61 juta orang atau 6,32% (Februari 2012).

Solusinya ialah dengan menggalakkan wirausaha dalam segala lini kehidupan. Usah menunggu mendapat pekerjaan tertentu. Mari ciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kembali menyitir petuah Ki Hadjar. Begawan pendidikan nasional tersebut memperkenalkan filosofi opor bebek. Ibarat menggoreng dan memasak tanpa minyak. Pada sajian opor bebek yang mematangkan masakan ialah minyak yang ada pada tubuh bebek itu sendiri (opor bebek mateng saka awake dewe).

Sedikit sharing pengalaman di lapangan, sejak 2005 hingga kini, penulis acapkali mengirim tulisan ke media massa. Baik lokal, nasional maupun internasional. Tak semuanya dimuat, beberapa mungkin langsung di di-delete (hapus) dari inbox (kotak masuk) redaktur surat kabar. Kendati demikian, tetap ada 500-an artikel dan resensi buku yang pernah dimuat. Dari situ, penulis mendapat honorarium. Selain itu, kita bisa belajar menyampaikan gagasan dan mengolah kreativitas.

Pungkasnya resep ning, ning, nung, nang ala Ki Hadjar Dewatara sungguh cespleng (mujarab). Dengan meneng, neng alias tenteram lahir batin kita menjadi ning, wening. Pikran menjadi jernih dan bening. Sehingga dapat membedakan mana yang tepat dan tidak tepat. Lantas kita menjadi nung, hanung alias kuat dan penuh semangat meraih cita-cita. Akhirnya nang, menang diamanahi wewenang untuk melayani sesama. Salam Pendidikan! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru sekolah alam Angon Yogyakarta dan ektrakurikuler bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman)
Kearifan Mengisi Liburan

Dimuat di Rubrik Peduli Pendidikan, KR, Senin/25 Juni 2012

Libur t'lah tiba/libur t'lah tiba/hore! hore! hore!

Tembang yang dinyanyikan Tasya ini acapkali diputar jelang musim liburan. Ya, kini hari yang dinanti itu oleh para pelajar itu sudah di ambang pintu. Ada aneka alternatif kegiatan untuk mengisi jeda antar semester ini. Hemat penulis, perlu kearifan dalam memanfaatkan momentum tersebut.

Menarik apa yang disampaikan Dr. Prof. Musdah Mulia. Aktivis perempuan itu mengatakan bahwa esensi pendidikan ialah menyeimbangkan antara unsur feminin dan maskulin dalam diri siswa. Beliau menyampaikannya dalam acara dialog di TVRI Nasional (Perempuan Memandang Indonesia, 17 Juni 2012).

Selama ini, pendidikan formal di ruang kelas cenderung bersifat maskulin. Kenapa? karena mengandalkan otak kiri semata. Antara lain untuk menghitung, menghapal, dan memilih pilihan ganda. Ibarat bandul pendulum, cara berpikir macho ini perlu diseimbangkan dengan kelembaban rasa.

Sekolah alam Angon menyiasatinya dengan menggelar sinau mBatik alias belajar membatik. Selain mengolah kepekaan juga melestarikan budaya bangsa dan kelestarian lingkungan. Kenapa? karena bahan pewarnanya menggunakan pewarna natural. Warna ungu misalnya, ternyata bisa diramu dari kulit manggis.

Kembali ke konteks liburan sekolah. Belajar membatik hanya 1 dari begitu banyak kegiatan bermutu lainnya. Sehingga selain mengendurkan sel-sel syaraf otak bisa juga mengolah rasa pang rasa para siswa. Kata kuncinya ialah kreatif sekaligus membumi. Senada dengan sebuah petuah bijak, "Ada 2 hal yang dapat menjadi hadiah terindah bagi anak-anak kita, yakni sayap dan akar." Selamat menikmati liburan nan berkualitas! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris Sekolah Alam Angon Yogyakarta)
Ajakan Sosial yang Melampaui Kata


Dimuat di RimaNEWS, Mon, 25/06/2012
http://www.rimanews.com/read/20120625/67124/ajakan-sosial-yang-melampaui-kata
“Saya menulis kisah ini live (langsung) di atas bukit. Siang itu, matahari bersinar terik. Keringat saya deras bercucuran. Saat itu, saya setengah putus asa. Saya ingin berteriak sekeras-kerasnya. Saya lelah berjalan dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari air bersih. Sehingga bisa diminum anggota keluarga (hlm 112)”.

Erwin Puspaningtyas Irjayanti mengetiknya dengan ponsel. Sinyal telepon seluler hanya ditemukan di titik (spot) tertentu. Biasanya di puncak sebuah bukit. Ia menamai lokasi tersebut “Bukit Harapan”. Sang Guru selalu ditemani 3 murid. Mereka berlari sejauh 45 km dengan mengacung-acungkan bambu runcing. Yakni, untuk menghalau gerombolan babi hutan.

Tatkala Wiwin - begitu nama panggilan alumni Fakultas Kehutanan (FH) Institut Pertanian Bogor (IPB)  - memutuskan menjadi Pengajar Muda, ia sedang menempuh masa percobaan kerja sebagai Area Sales Manager di bank swasta terkemuka. Selain itu, dara manis ini dikenal sebagai penulis novel. Ia memiliki nama pena Waheeda El Humayra. Salah satu novelnya yang berjudul Hot Chocolate Love dicetak oleh Penerbit Malaysia. Wiwin memang hobi menulis. Pun acap kali memenangi aneka lomba.

Dalam buku “Indonesia Mengajar” ini ia turut berbagi kisah. Pada kali pertama memasuki ruang kelas SDN No. 25 Inpres Apoang di Passau, Kecamatan Sendana, Majene, Sulawesi Barat, murid-muridnya "asyik" bersembunyi di kolong meja. Kenapa? karena mereka begitu pemalu. Sebagian besar tak bisa berbahasa Indonesia. Bahkan mereka tak tahu kalau Jakarta merupakan ibukota Indonesia. Yang mereka tahu hanya Somba, dusun kecil di kaki bukit (halaman 3).

Menurut observasi singkat Wiwin, perhatian masyarakat terhadap dunia pendidikan memang relatif rendah. Selama ini, mereka tinggal di rumah-rumah panggung. Pendapatan penduduk rata-rata Rp150.000-Rp200.000 per bulan. Para guru di sana sering kali tidak masuk kelas. Sehingga meski notabene tercatat sebagai wali kelas V,  pada praksisnya Wiwin harus mengajar dari kelas I sampai VI. Total muridnya ada 28 orang.

Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) terinspirasi oleh janji kemerdekaan. Yakni, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Sebanyak 51 kaum muda terseleksi dari 1.383 pendaftar menjadi guru selama setahun (10 November 2010-10 November 2011) di daerah pedalaman. Buku ini terdiri atas 4 bab: Anak-anak Didik Pengajar Muda, Memupuk Optimisme, Belajar Rendah Hati, dan Ketulusan itu Menular. Isinya memuat 62 kisah inpiratif para Pengajar Muda.

Arief Rahman, seorang pengamat pendidikan kenamaan berpesan sebelum mereka diterjunkan ke lokasi masing-masing. Selama setahun mengajar jangan (pernah) jatuh cinta. Namun baru seminggu Ayu Kartika Dewi di titik penempatan, ia sudah dimabuk kasmaran. Sosok yang membuatnya tak bisa tidur ialah Lusiman alias Iman. Salah satu murid di kelas 6 SD di Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Alumni Fakultas Ekonomi (FE) Jurusan Managemen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut jatuh cinta pada kecerdasan Iman. Ayu melaporkan  bahwa Iman sering menghilang bila ia mengajar dengan cara konvensional. Tapi begitu ia bercerita tentang apa saja - dari dongeng antah berantah sampai konstelasi tata surya - Iman langsung duduk takzim dan memasang telinga dengan sorot mata berbinar.

Suatu ketika Ayu mengajar ihwal perputaran setiap planet. Sampailah mereka pada masa rotasi Jupiter. Lamanya 90 hari waktu Bumi. Imam menyeletuk begini, “Wah bisa mati kalau kita puasa di Jupiter ya Bu?” Betapa menakjubkan daya nalarnya. Ia mampu mengambil kesimpulan secara cerdas.

Iman juga sosok melankolis. Ia pernah menulis sebuah puisi. Lantas, Ayu menyimpannya di ponsel. Setiap kali perlu suntikan semangat baru, ia membacanya, "Bu…/Engkaulah yang memberi aku ilmu/ Untuk aku, juga teman-temanku/ Aku sangat bangga padamu/ Aku dan regu kami di sekolah senang melihat Ibu/ Di sekolahku ini ada seorang ibu di kelas enam/ Ia sangat baik hati/ Kalau aku juga ingin seperti guruku/ Oleh ibuku membuat aku pintar/ Lalu, aku punya ibu bernama Ibu? Ayu…" Ternyata huruf depan setiap penggalan puisi di atas membentuk kata BELAJAR DI SEKOLA (tanpa huruh H).

Menurut Ayu, bila ia hanya boleh mengajar di satu sekolah, ia ingin mengajar di sekolah tempat Iman belajar. Bila ia hanya boleh mengajar di satu kelas, ia ingin mengajar di kelas tempat Iman belajar. Dan, bila ia hanya boleh mengajar satu anak, ia ingin mengajar Iman (halaman 12).

"Indonesia Mengajar" merupakan kompilasi dari materi blog. Isinya bukan teori semata tapi berdasarkan pengalaman nyata. Para pengajar muda terlibat aktif mencerdaskan kehidupan bangsa. Menyitir pendapat presenter cantik Najwa Shihab, “Buku ini membuat kita tersenyum, terharu, dan berdecak kagum. Sungguh sebuah ajakan sosial dengan contoh cemerlang yang melampaui kata-kata.” Selamat membaca!
______________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon dan Ektrakurikuler English Club di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta

Judul: Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis Bersama: 51 Pengajar Muda
Pengantar: Anies Baswedan dan M. Arsjad Rasjid P.M
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: IV, Maret 2012
Tebal: xviii + 322 halaman
ISBN: 978-602-8811-57-6

Living Life Enthusiastically

Published at Aspensi.com, June 23, 2012
http://aspensi.com/views/2012/06/23/1239/1307000-book-review-living-life-enthusiastically

The title above was inspired by Sansan’s experience (p. 374). At the beginning, her daughter was normal. Then, she was infected by a certain virus. Suddenly, her beloved baby became deaf.

However, Sansan was not giving up. She even brought Gwen (her baby’s name) to Australia. Sansan was forced to be apart from her husband. Therefore, she became a single mother. She continued study to pursue S2 (Master) degree.

Sansan took Special Education subject. A faculty in which studying the education for children with special need. Sansan was very discipline in managing time. How to go to college, work on the task given by the lecturers, complete the household duties, and of course take care Gwen.

Based on her experiences, she wrote an inspiring book, I Can (Not) Hear. Sansan shared her knowledge to public. Especially, how to facilitate the learning process of children with special need. Therefore, future generation can achieve an equal opportunity in education.

From the true story above, Sidik Nugroho wanted to say one message. Sacrifice, effort, gratitude, and submission must be in a balance. Since, people tend to be passive in dealing with life’s challenges.

They avoid to work hard because of an old saying, “… everything has already destined by God”. Yet, this is just an excuse to hide her/his laziness.

Point of View

This book also appealed the readers to shift point of view. Once upon a time, a young teenager felt his life was nothing. Perhaps, he had rejected by a girl. In the midst of desperation, he went to meet a spiritual mentor.

The wise man listened to the pupil. After the boy satisfied outpouring his feeling, then it’s time for the master to speak up, “Son, please bring me a spoonful of salt. Then, mix them into a glass of water and drink it!”

This boy obeyed the instruction. “How does it taste?” The master asked. “Piuuuh! It’s very salty!“ the student replied while spouted the water out from his mouth.

After that, the master traveled with the student to the edge of a very vast lake. The water was so clear and fresh. The master asked the pupil again, “Please dissolve a spoonful of salt into the lake and stir it with a bamboo. Then, drink a cup of water from the lake!”

“The water is so fresh. It’s not salty at all,” the student answered with bright shinning eyes.

Through this simple story (p. 232)”, Nugroho told the reader to have a heart as wide as a lake. Because people who have a narrow one, every little thing shall cause stress and depression within him/her.

Porong citizens’ spirit can be a role model. Although since May 2006 they has not accept any compensations yet, they still persisted to survive. Moreover, they even become more creative.

Those victims transformed mud disaster – which was flooded 10,000 homes, dozens plants, as well as schools building from elementary to high school – into a tourism venue. Many tourists from all over Indonesia, even foreign country flocked to see this giant mudflow (p. 281).

It is similar with the community at the slopes of Merapi Mountain, Yogyakarta. They made the house of Mbah Maridjan (RIP) in Kinahrejo village as a place of pilgrimage.

Hopefully, these grass roots’ initiatives reminded the officials to fulfill the promise. By substituting all dead cows and cattle. Building some temporary shelters and setting up permanent residence for those people.

Romantic

The book also told a romantic story. Every morning, Mbah Khatijah presented a cup of hot tea. Her husband’s name is Mbah Setyowikromo. He worked as a charcoal seller. Both of them lived in the hamlet at Suko village. It was 40 km from Gudeg City. The income in average is IDR 2,000 – 5,000/day. This profession has been occupied since the Dutch era.

Interestingly, when selling charcoal in the Gudeg City, Mbah Setyowikromo has never bought any food. Indeed, he only ate once – it was always his wife own cooking  - usually in the evening.

The wife sold some teak leaves (daun jati) in the traditional market. With this kind of modest life, they could save money in a bamboo. Therefore, when there was a neighbor who conducted a celebration, they can give an envelope containing IDR 20,000 – 25,000-. “We do not want to eat food if has not paid yet,” said Mbah Khatijah (p. 161).

Through this true story, the author told the readers to reflect themselves. A person’s dignity is not only determined by his/her wealth and fame. It depended on every drop of sweat to gain the bliss of life.

Nowadays, a lot of government officers and the legislative members gaining money by unconventional (read: corruption) way. Indeed, hard work and honesty are two universal formulas to be successful. There are no shortcuts by robbing people’s budget.

Sidik Nugroho wrote the book in relatively long period, from 2003-2011 (8 years). It was consisted of 366 reflections. Just like a hunger healers menu, one day for one reflection. Therefore, it can be consumed for a full year. The sources were very diverse. For examples, from books, movies, interaction in the class, until an encounter with a madman in a coffee shop.

Writing

There is an inspiring story taken from a biography of Stephen King’s: On Writing. As a child, he has been able to write a story. It was about Mr. Rabbit Trick. This main character became a leader of 4 magical animals. Every day, they work providing assistance to children in the small village.

Stephen, then, gave the manuscript to his mother. The mother was very impressed. She was encouraging him with some payment. She paid 25 cents for every story that was written by little King. Of course, this increases her son motivation to keep on writing.

In a short time, he wrote 4 more stories. Those had same main character. “Four stories, 25 cents for each. That is my 1st reward in this business,” Stephen King admitted in his memoirs (p. 107).

Indeed, King’s mother did not only teach his son about mercenary. According to Sidik, Stephen was very lucky. Since, his mother appreciated his efforts and creativity from very early age.

The author classified the material according to the key events. For example, some educational writings, he put in May. Due the celebration of National Education Day (2 May). While the material about Love, of course in February. Then, the theme of Nationalism at August (17).

Podium’s Lion

Sukarno was arrested by the Dutch at 1929. Because of the speeches of Bung Karno which was considered very dangerous. While this head of PNI (Indonesian National Party) stood in front of the people, he could anesthetized the audiences as well awakened the spirit to achieve independence.

No wonder if this Indonesian 1st President was called the Podium’s Lion. While arresting in the jail, Bung Karno kept on fighting. The mediums were some papers and a single pen. He wrote a pledge for one and a half months.

Pad of the paper where he wrote was a potty. Yes, it was a disposal for urine and feces. Later, the hand written was compiled as a book. The title is Indonesia Menggugat or Indonesia Protesting (p. 235).

Ready to Win, Ready to Lose

As an elementary school teacher at SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Sidik Nugroho has a lot of experiences while interacting with his students. He also shared an inspiring story.

After the teaching session, the authors often conducted a quiz. From guessing the song’s title – by referring to the tunes which was played with a guitar – until a quiz related to the material that was given previously.

Indeed, it was similar with the adults; children were also not ready to accept the defeat. Even, some of them were crying aloud when his/her group was lost. The solution was by writing, “Ready to Win, Ready to Lose!” on the blackboard.

Therefore, at the end of every quiz, the teacher pointed to the front of the class. All students shouted together – both the losing and winning sides – reading the previous agreement.

One weakness of this book was the lack of table of content. Therefore, the reader is rather difficult to find a particular reflection.

Nevertheless, this 384 pages book can be an oasis in the middle of the routines’ desert. I can not agree more with Nugroho Sidik’s opinion, “One of the reasons to keep our spirit up in this life is by awaking a beautiful memory.” Happy reading!

Book title: 366 Reflections of Life (Kisah-kisah Kehidupan yang Meneduhkan Hati) 
Author: Sidik Nugroho
Editor: Leo Paramadita G
Published by Bhuana Ilmu Populer (2012), Jakarta, Indonesia
384 pages
ISBN: 10:979-074-893-4
Price: IDR 54,000 
===


Melihat Perbedaan sebagai Kekuatan

Dimuat di RimaNEWS, Rabu/20 Juni 2012
http://www.rimanews.com/read/20120620/66544/melihat-perbedaan-sebagai-kekuatan

Maria Audrey Lukito (24) terlahir di Surabaya pada 1 Mei 1988. Putri tunggal pasangan Budi Loekito dan Natalie Angela Oenarto ini sangatlah jenius. Sejak usia dini Audrey telah memperlihatkan (multi) talentanya. Saat baru berumur 16 bulan, ia sudah mengenal 26 abjad. Audrey juga piawai menarikan jemari mungilnya di atas tuts mainan kotak pensil. Genap usia 2 tahun, ia sudah lancar membaca buku.

Lantas pada tahun 1993, mereka semua hijrah ke Vietnam. Keluarga tersebut bermukin di sebuah perkampungan. Dunia anak memang saatnya untuk bermain. Audrey juga suka bercengkerama dengan para teman sebaya. Hebatnya, walau saat itu Audrey hanya bisa berbahasa Indonesia toh ia dipercaya menjadi pemimpin kelompok.

Audrey hanya membutuhkan waktu 5 tahun di bangku Sekolah Dasar (SD). Ia sempat meraih penghargaan MURI ketika berusia 10 tahun. Kenapa? Karena Audrey menjadi anak Indonesia termuda yang lulus tes TOEFL dengan skor 575. Kemudian pada umur 14, ia memecahkan rekor TOEFL-nya sendiri dengan skor fantastis 670.

Pada usia 11 tahun, Indonesian Daily News menyebut Audrey sebagai Dictionary Girl (Gadis Kamus). Sebab, ia mampu menghafal kamus bahasa Inggris setebal 650 halaman.  Hebatnya lagi, berturut-turut Audrey mampu menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya hanya dalam waktu 1 tahun saja.

Selanjutnya, saat berusia 13 tahun Audrey melanjutkan studi Strata 1 (S1) di Amerika Serikat. Ia mengambil Jurusan Fisika di The College of William and Mary (WM) Virginia. Audrey menjadi mahasiswa Indonesia termuda di kampus tersebut. Ia pernah didaulat menjadi anggota Phi Beta Kappa, Honor Society Global Young Leader Conference di Washington DC. Audrey sempat berpidato di hadapan anggota kongres Senat USA.

Hanya berselang 3 tahun, ia berhasil lulus dengan predikat Summa cum Laude. Nilai rata-rata IPK-nya 3,95. Audrey menulis tesis berjudul, “Analysis of Neutrinos Emitted by Radioactivity in the Earth’s Core”. Kembali MURI memberikan rekor sebagai sarjana Fisika (S1) termuda, yaitu 16 tahun.

Buku ini juga mengungkap talenta Audrey di bidang non-akademik. Sejak SD, ia sudah memenangkan banyak tropi. Sehingga - di rumahnya di kota Surabaya - Audrey musti meletakkan semua piala hasil lomba di dalam lemari khusus. Ia sempat menjadi juara piano, menyanyi opera, dan menari balet.

Pada dinding kediamannya tersebut, tergantung aneka gambar tokoh dunia dan para saintis kondang. Bahkan semua itu dilukisnya sendiri. Sumber inspirasi Audrey berasal dari buku-buku biografi yang menjadi santapannya sejak kecil. Selain itu, ia juga menekuni olahraga berkuda dan menembak.

Kemampuan bahasa Audrey pun menakjubkan. Ia tercatat sebagai peserta termuda (14 tahun) yang mengikuti Summer Course bahasa Rusia. Bahkan Audrey berhasil lulus dengan nilai terbaik. Ia mampu menguasai bahasa ini dalam rentang waktu 2 bulan saja. Padahal standar masa kuliah lazimnya berlangsung 4 semester. Selain bahasa Rusia, Audrey juga piawai berbahasa Inggris, Mandarin, dan Ibrani.

Namun ternyata di balik pelbagai prestasi cemerlang tersebut tersimpan masa lampau nan suram. Ia sangat mengagumi Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dan Bung Karno. Kendati demikian, ia acap kali mengalami perlakuan diskriminatif secara sistemik. Perlahan ia menyadari bahwa tidak mungkin baginya untuk menjadi "Patriot" sebagaimana para tokoh idola tersebut.

Lewat memor ini Audrey menyuarakan tuntutan persamaan hak sebagai sesama anak bangsa dan umat manusia. Rekomendasinya sederhana, “It is time for parents to teach young people early on that in diversity there is beauty and there is strength.” Kini saatnya para orang tua di Indonesia mendidik generasi muda sejak usia dini bahwa dalam perbedaan ada keindahan dan kekuatan." Selamat membaca!
_______________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris PKBM Angon (Sekolah Alam) Yogyakarta

Judul: Patriot
Penulis: Maria Audrey Lukito
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan: 1/2011
Tebal: xiv + 135 halaman


Hanya Butuh Ketegasan Pak Beye

Dimuat di PedomanNEWS, 17 Juni 2012
http://pedomannews.com/umum/14029-hanya-butuh-ketegasan-pak-beye

Kenapa pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok radikal berkedok agama terus dibiarkan pemerintah? Bahkan mulai menular ke tingkat lokal. Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan pendapat ketua Setara Institute. Pemaksaan kehendak dan radikalisme hanya membutuhkan 1 langkah menuju terorisme dan disintegrasi bangsa. 

Artinya, pembiaran negara sinonim dengan penyemaian bibit-bibit baru kelompok jihadis tekstual. Menyitir argumen Hendardi, “Dalam situasi yang demikian, apapun yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak akan dianggap sebagai prestasi!"

SBY acapkali berjanji akan menindak tegas organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bertindak anarkistis. Pasca-insiden Monas Berdarah tatkala Perayaan Kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 silam, Presiden Yudhoyono berkata, ”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar RI 1 tersebut di Kantor Presiden (2/6/2008). 

Kini 4 tahun berselang, namun ibarat kata pepatah, “Memang lidah tak bertulang.” Janji tersebut tinggal janji belaka. Pada hemat penulis, Indonesia ialah negara hukum. Oleh sebab itu, aparat keamanan musti menegakkan peraturan secara konsisten lewat tindakan nyata. Bukan sekadar himbauan. 

Sebagai orang Indonesia, penulis tidak rela republik tercinta menjadi negara gagal. Bangsa ini didirikan para pendahulu kita tidak secara cuma-cuma. Harta, benda, keringat, air mata, darah bahkan nyawa dikorbankan demi memproklamasikan kemerdekaan NKRI secara politis. Kini tanggungjawab kita semua untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa. Yakni dengan mengupayakan kemerdekaan setiap jiwa dan kesejahteraan rakyat Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Sungguh mengejutkan data dari Setara Institute. Ternyata sepanjang 2010 tak kurang terjadi 262 kasus pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan berkedok agama. Sebelumnya, data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS) menyebutkan bahwa aksi barbarian ini makin sering terjadi pasca Orde Baru tumbang. Laporan MMS 2010 mencatat 81 kasus anarkistis berlabel agama. Melonjak 30 persen dari laporan 2009 sebanyak 59 kasus.

Ironisnya, sepanjang 2011-2012, eskalasinya semakin meningkat pun kian beringas (baca: sadis). Dari insiden Cikeusik (6 Februari 2011), Temanggung (8 Februari 2011), Bom Cirebon (14 April 2011), hingga konflik dengan warga kampung Gandekan di Solo (3 Mei 2012). Ironisnya, negara dan aparat keamanan seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok berlabel agama tersebut. Bandingkan dengan “kesigapan” aparat menghalau rakyat di Mesuji, Bima, dan mahasiswa demonstran penolakan harga BBM secara represif. 

Negeri ini seakan - meminjam istilah Dr. Victor Silaen - wilayah yang hampa-hukum (lawlessness situation). Senada dengan analisis pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana, "Aksi kekerasan bernuansa agama yang terjadi dan pembiaran oleh negara menunjukkan kegagalan negara melindungi kebebasan sipil rakyatnya." 

Dokumen Perdamaian
 
Secara lebih mendalam, penulis menerjemahkan surat yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Dokumen perdamaian ini dibubuhi cap tangan Baginda Nabi Muhammad SAW. Kini disimpan dalam Perpustakaan Biara St.Catherine di kaki Gunung Sinai, Mesir. 

Biara tertua di dunia tersebut memiliki koleksi manuskrip Kristen luar biasa lengkap. Hanya kalah oleh koleksi Vatikan. Biara ini merupakan salah satu warisan budaya dunia. Mereka memiliki koleksi manuskrip Kristen sejak masa awal kelahirannya. 

Para sejarawan Muslim memverifikasi orisinalitas surat tersebut. Surat aslinya diperoleh dari Sultan Selim I (1517). Lantas, replikanya dibuat ulang untuk disimpan di biara terkemuka tersebut. Hingga kini, foto naskah aslinya dapat dilihat langsung di Museum Turki. 

Ternyata, pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine mengunjungi Baginda Nabi Muhammad SAW untuk meminta perlindungan. Beliau menyanggupi dengan memberikan dokumen penting. Berikut janji Beliau kepada St. Catherine dan umat Kristiani:

“Inilah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang menjadi perjanjian dengan mereka umat Kristiani, di sini dan di mana pun mereka berada, kita senantiasa bersama mereka. 

Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh mengasihi mereka, karena umat Kristiani ialah umatku juga. Dan demi Allah, aku akan menentang siapapun yang menindas dan membuat mereka menderita. Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristiani yang dicopot dari jabatannya ataupun pastor/pendeta diusir dari biaranya. 

Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan dan merusak rumah ibadah mereka ataupun memindahkan barang dari rumah mereka ke rumah orang Muslim. Bila ada yang melakukan hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya sendiri. 

Bahwasanya mereka (umat Kristiani) sesungguhnya ialah sahabatku dan aku menjamin mereka tidak mengalami apa yang membuat mereka menderita. Tidak boleh ada yang boleh mengusir mereka pergi atau mewajibkan mereka untuk berperang. Kaum Muslimlah yang harus berjuang untuk mereka. 

Bila seorang perempuan Kristiani menikahi pria Muslim, pernikahan itu pun harus dilakukan atas persetujuannya. Ia juga tak boleh dilarang untuk mengunjungi Gereja untuk berdoa. 

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk merenovasi gereja mereka. Dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat)." (Sumber: http://www.therevival.co.uk/forum/general/6116?page=2) 

Dokumen di atas memang bukan piagam hak asasi manusia (HAM) modern. Sebab ditulis pada 628 M. Bahkan saat itu PBB sekalipun belum berdiri. Tapi isinya jelas melindungi hak atas properti, kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan bekerja, dan perlindungan keamanan. Ironisnya, kini kelompok radikal di Indonesia tak pernah membaca dokumen ini. 

Akibatnya, mereka justru melanggengkan ketidakrukunan demi kepentingan politis dan ekonomis. Ibarat setitik noda di kertas putih, dalam setiap agama dan kepercayaan niscaya terdapat kelompok yang mau menang dan benar sendiri. Mereka cenderung memfokuskan diri pada isu-isu yang bisa memecah-belah dan menciptakan konflik di antara sesama umat manusia. Sepanjang 2.000 tahun terakhir telah terjadi 3.000 perang atas nama agama. 

Dalam konteks besar peradaban tersebut, dokumen sejarah yang memuat janji Nabi Muhammad SAW kepada umat Kristiani tetaplah relevan. Walaupun beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, atau menganut aliran kepercayaan tertentu tetaplah sesama anak bangsa. Inilah manifestasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. 

Sepakat dengan pendapat Anand Krishna, "Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi. Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja - apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir “lewat” ibu kandungku, namun yang “melahirkan”ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku, Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata… Sembah Sujudku padaMu, Ibu Pertiwi…” (Bagi-Mu Ibu Pertiwi, 2008). 

Pungkasnya, semoga budaya pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan kita tinggalkan. Akhiri konflik berkedok agama yang menguras energi. Saatnya berdialog dan bergotong-royong demi kemajuan republik titipan anak-cucu ini. 

Menyitir pendapat Romo Mangunwijaya Pr (almarhum) dalam buku “Pacsa Indonesia-Pasca Einstein” (Kanisius, 1999), “Yang mempersatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horizontal ini dipahami, dihayati, dan diamalkan konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan…”

Juni 08, 2012

Lima Detik Mengubah Cara Pandang terhadap Hidup

Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu/9 Juni 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/92939

Sejatinya, kemampuan bersyukur merupakan mukjizat karena membantu manusia melarutkan kecemasan, mengubah sikap negatif menjadi positif, dan energi yang menghubungkan manusia dengan Tuhan (hlm 61).

Begitulah tiga pesan kunci dalam buku ini. Neale Donald Walsch mengajak pembaca bereksperimen dalam keseharian ziarah hidup. Tatkala berhadapan dengan hasil atau pengalaman tak mengenakkan, berhentilah! Apa pun yang sedang dikerjakan, kapan pun dan di mana pun, rehatlah sejenak.

Setelah itu, duduk santai, pejamkan mata, dan ucapkan dalam hati, "Terima kasih Tuhan." Ambil napas dalam-dalam sampai rongga perut mengembang dan ulangi sekali lagi, "Terima kasih atas segala anugerah dan karunia yang senantiasa Engkau limpahkan kepadaku."

Seketika itu pula, rasa syukur menggantikan kecenderungan menghakimi dan berkeluh kesah. Alhasil, kedamaian menyebar ke seluruh raga, kelembutan melingkupi jiwa, dan kebijaksanaan mengisi benak (mind). Dalam konteks ini, hanya butuh lima detik untuk mengubah cara pandang terhadap kehidupan.

Buku ini terdiri atas 28 bab, antara lain, "Anda Sedang Menyaksikan Sebuah Mekanisme yang Luar Biasa", "Pertanyaan Terpenting yang Pernah Ditanyakan", "Pilihan Sadar Vs Pilihan Tak Sadar" , dan "Kebebasan yang Anda Miliki adalah Anugerah Tuhan yang Terbesar." Happier than God merupakan karya terbaru Neale Donald Walsch. Sebelumnya, ia menulis buku Conversation with God yang sudah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa.

Ada resep praktis untuk bahagia. Bernyanyilah di kamar mandi setiap pagi. Rumusan Walsh itu masuk akal karena manusia tidak bisa bernyanyi dengan watak yang buruk dan orang tak bisa menyembunyikan watak buruk ketika sedang bernyanyi. (hlm 219).

Happier than God mengungkap pula hukum universal yang berlaku di alam semesta, hukum kebalikan. Tatkala manusia memilih hasil, objek, atau pengalaman tertentu, kebalikan dari sesuatu yang dipilih itu niscaya muncul pertama kali dalam kehidupan dengan beragam cara (hlm 67). Menurut Walsch, alasan yang mendasari manifestasi tersebut karena kehidupan tak bisa dialami dalam ruang kosong. Ia mensyaratkan sebuah konteks untuk memperkaya kehidupan.

Ironisnya, belum banyak orang memahami mekanisme kerja ini sehingga tak mengherankan jika manusia mudah berputus asa tatkala menghadapi suatu tantangan. Padahal, sejatinya, saat itu alam semesta sedang bersiap menganugerahkan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup ini.

Pada hakikatnya, sesuatu yang berkebalikan dengan yang diharapkan merupakan sinyalemen bahwa manusia berada di jalur tepat. Ia sedang mengarah ke tujuan yang memuliakan. Analoginya sederhana. Ibarat menghantamkan kepala ke tembok, padahal sebenarnya tamu sedang berada di depan pintu masuk.

Itulah kenapa para bijak mengajarkan untuk tidak menolak kejahatan. Jangan melawan, berkawanlah! Namun, bukan berarti manusia harus berdiam diri menyaksikan ketidakadilan merajarela. Buku ini juga memuat kritik keras terhadap pemuja paham pikiran positif yang notabene cenderung memfokuskan diri untuk memperoleh uang, mobil, dan rumah mewah (saja).

"Bagian yang sangat menjengkelkan dari kecenderungan ini ialah pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang yang sengsara dalam kehidupannya akibat perbuatan mereka sendiri. Korban perkosaan di Darfur tidak minta diperkosa. Warga Afrika tidak meminta kelaparan. Pendapat bahwa kesalahan cara berpikir merekalah yang menjadi penyebab kesengsaraan itu sungguh memuakkan" (hlm 47).

Buku setebal 241 halaman ini niscaya memberi pencerahan budi. Ternyata penderitaan masyarakat tertentu disebabkan pula oleh kesadaran kolektif masyarakat lain yang tidak menderita sebab banyak orang yang tak menderita membiarkan penderitaan sesama terus berlanjut alias bersikap cuek. Walsch berpendapat, "Saya percaya bahwa seharusnya manusia menggunakan pikiran positif untuk menemukan makna keberadaan ini, yakni untuk memperkaya kehidupan spiritual dan berbagi dengan sesama." Selamat membaca!

Diresensi Nugroho Angkasa, tinggal di Sleman

Judul : Happier than God, Mengubah Kehidupan Biasa Menjadi Luar Biasa
Penulis : Neale Donald Walsch
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan : 1/ Mei 2012
Tebal : x 241 halaman
ISBN : 978-979-074-776-0


Juni 04, 2012

Membongkar Mitos Angka 13
 
Dimuat di RIMANEWS, Senin/4 Juni 2012
http://www.rimanews.com/read/20120604/64744/membongkar-mitos-angka-13


Selama ini angka 13 ibarat hantu nan menakutkan. Pun bahasa Indonesia mengadopsinya dalam frase "celaka tiga belas". Bahkan pernah ada serial film horor berjudul, "Friday the13."  Padahal menurut penulis buku ini, semua itu sekadar asumsi. Yang pertama menganggap angka tersebut jelek ialah para penjajah. Semacam mitos pembawa sial yang notabene membuat bangsa ini dieksploitasi selama 350 tahun lebih.

"13 Kiat Hidup Sukses" menyajikan pemahaman baru ihwal hakikat sukses. Isinya membongkar mentalitas inferior bangsa Selatan yang dihegemoni para cowboys dari Utara. Buku ini merupakan “metamorfosis” karya tulis "Kiat Hidup Sukses". Sebelumnya terbit pada 1994.  Dulu disajikan dengan gaya seriosa yang relatif serius, kini dihadirkan kembali dengan nuansa bossanova nan riang dan ceria.

Dewasa ini, para motivator beken mengkaitkan kata "sukses' dengan DPG. Yakni akronim dari Duit, Popularitas, dan Glamor. Wisnubroto Widharso melontarkan pertanyaan reflektif, "Apakah benar hanya DPG yang mencirikan manusia itu sukses? (halaman 11).

Dosen Akademi Bahasa Asing St. Pignatelli, Surakarta tersebut berpendapat lain. Jika membaca koran dan menonton televisi, hampir selalu mendengar berita kasus korupsi. Pengusaha menyuap pejabat tinggi. Mereka berkomplot merampok uang rakyat. Selain itu, tak sedikit artis yang dipuja jutaan penggemar, tapi acapkali kawin-cerai. Mereka mengantongi predikat DPG, tapi sama sekali belum sukses menjadi manusia.

Untungnya, ada pula selebritis yang berjiwa sosial. Salah satunya ialah Oprah Winfrey. Pada 2007. Presenter berkulit hitam ini menjadi salah satu orang terkaya di Amerika Serikat versi majalah Forbes. Kekayaannya mencapai Rp13,5 trilyun lebih. Tapi bukan hanya kekayaan materi yang ia miliki, Oprah pun mempunyai sikap welas asih.

Hartanya dikembalikan kepada masyarakat. Ia sering mengundang wong cilik ke acara talkshow-nya. Oprah juga menghadiahi para tamu dengan uang tunai, tiket plesir, mobil, dan rumah mewah. Tercatat pada acara bulan September 2004 bertepatan dengan perayaan 19 tahun The Oprah Winfrey Show, ia memberikan masing-masing hadirin sebuah mobil Pontiac seri terbaru. Sebagai catatan kecil, satu unit mobil harganya $28.000 dan total tamu ada 276 orang (halaman 31).

Masih ada misi altruistik Oprah lainnya. Pada 2003, ia membeli lahan 11 hektar di Meyerton, Provinsi Guateng, Afrika Selatan. Kemudian, ia membangun The Oprah Winfrey Leadership Academy for Girls. Hanya 2 tahun berselang, sekolah tersebut menampung 450 siswi setingkat SMP.  Oprah memang memiliki kepedulian terhadap sesama. Terutama anak-anak yang hidup serba berkekurangan di benua Afrika.

Buku ini terdiri atas 13 subbab. Antara lain: Mengenali Orang Sukses, Menjadi Diri Sendiri, Mempunyai Komitmen, Tetap Belajar, Terbuka dan Fleksibel, Mempunyai Sahabat-sahabat, Pandai Berkomunikasi, dan Bersyukur. Selain menulis buku pengembangan diri, Wishnubroto Widarso juga piawai menulis puisi dan cerpen. Kumpulan puisinya berjudul, "Amsterdam Selayang Pandang" dan kumpulan cerpennya, "Tergoda oleh Manisnya". Keduanya karya sastra tersebut dicetak secara independen.

Secara blak-blakan, penulis buku ini membuka kartu hidupnya. Ketika masih muda, ia pernah bekerja di kapal pesiar. Pangkalannya ada di Miami, Florida, Amerika Serikat. Artinya, selama setahun penuh ia berada jauh di perantauan. Rasa rindu acapkali mengiris hati.  Dalam kesepian, ia mengharapkan datangnya surat dari tanah air. Ketika itu, belum ada HP atau laptop. Selain surat dari ayah dan ibunya, ia mengharapkan surat dari Agoes. Kenapa? Karena isi surat sahabat dari sejak SMP itu menarik dan jenaka. Sehingga ia bisa sedikit mengobati rasa kangen pada kampung halaman. Hatinya pun tidak kebat-kebit tertiup angin laut (halaman 53).

Ia juga mengenang sahabat sekaligus dosennya di bangku kuliah. Namanya Romo Bolsius SJ. Paderi Jesuit ini kini bermukim di Negeri Tulip dan Kincir Angin. Tatkala salah satu buku Wisnubroto terbit (10 Kiat Menjadi Bahagia, 1991), Romo memberi komentar dan sedikit pujian yang wajar, "Saya kira buku kecil ini cukup tepat, terutama untuk muda-mudi. nasihat-nasikah yang kamu berikan pada mereka itu sehat dan sederhana, sehingga anak muda yang berpikir tepat bisa melaksanakannya." (Haren tertanggal 25 Maret 1991, halaman 54).
Lewat kesaksian tersebut, ia hendak menandaskan manusia tidak hidup sendirian di dunia ini. Kita memang harus hidup bersama sesama. Pun tidak sekadar bersama, tapi saling menyapa, melayani, menguatkan, dan mengapresiasi. Itulah arti seorang sahabat sejati. Dalam konteks ini, tamsil John Donne tetap relevan. Penyair Inggris dari abad ke-17 itu mengatakan, "No man is an island." Manusia ibarat benua dan lautan yang tak terpisahkan satu sama lain.

Bahkan tak hanya dengan sesama manusia. Tapi juga dengan segenap titah ciptaan. Pada subbab 12 "Ikut Melestarikan Alam", terdapat kutipan petuah Chief Seattle. Beliau merupakan tetua Suku Indian Suquamish. Mereka dulu tinggal di kawasan yang kini masuk ke dalam negara bagian Washington, "Setiap jengkal bumi ini adalah sakral bagi bangsaku. Setiap pucuk cemara yang berkilau, setiap hamparan pantai berpasir, setiap tetes embun di hutan-hutan yang rimbun, setiap dengung serangga adalah kudus dalam kenangan dan pengalaman bangsaku. Air yang kemilau dan mengalir di sungai-sungai bukanlah air semata namun darah leluhurku. Gemericik air adalah desah nenek moyangku." (halaman 74). Chief Seattle mengirimkan surat tersebut kepada Franklin Pierce, Presiden A.S ke-14. Yakni, sebagai jawaban atas keinginan sang presiden yang hendak "menjarah" tanah leluhur suku Squamish.

Buku setebal 88 halaman ini ibarat suplemen makanan bagi astronot. Sebab walau berkemasan mini(mal) tapi berfaedah maksi(mal). Hakikat sukses bukan melulu material, melainkan lebih pada mekarnya kepedulian pada sesama yang menderita. Selamat membaca!
______________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) 

Judul: 13 Kiat Hidup Sukses
Penulis: Wisnubroto Widarso
Editor: C. Erni Setiyowati
Penerbit: Kanisius
Cetakan: II/2012
Tebal: 88 halaman
Harga: Rp16.500
ISBN: 978-979-2-21-3045-4

Juni 01, 2012

Belajar Hidup dari Determinasi Semut


Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu/2 Juni 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/92377

Manusia yang mendamba kebahagiaan sering tidak sadar bahwa itu semua sudah ada. Hanya butuh kejelian untuk melihatnya. Langkah pertama ialah membuka mata batin agar dapat menyadari potensi dalam diri masing-masing. Misalnya, setiap orang memiliki waktu sama. Setiap orang memiliki modal 24 jam sehari.

Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata. Sejak memutuskan merantau ke kota, Yohanes Babtista sang penulis, enggan memboroskan waktu. Dia harus bekerja sembari melanjutkan studi. Dia bekerja saat tidak kuliah dan kuliah ketika tidak bekerja.

Sebagai remaja, dia kadang sedih karena tidak dapat bermain seperti teman sebayanya. Kendati demikian, Yohanes tidak akan menyia-nyiakan waktu dan bertekad meraih masa depan gemilang.

Baginya, waktu merupakan modal utama dalam kehidupan. “Sebab waktu tak pernah kembali dan tak kenal kompromi. Keberadaan waktu memang tak tampak, namun pengaruhnya amat terasa dalam keseharian ziarah hidup ini.” (hlm 62).

A Cup of Success memuat pula perjuangan Junet, mantan pegawai di sebuah pabrik roti. Tapi, karena krisis moneter berkepanjangan, harga bahan baku pun melonjak. Akhirnya, pabrik tersebut gulung tikar. Semua karyawan terpaksa dirumahkan, termasuk Junet.

Ia sangat sedih. Untuk menghibur diri, Junet menghabiskan waktu bersama keluarga. Ia pun terus mencari cara untuk bisa menafkahi keluarga. Junet menggunakan pesangonnya untuk berjualan mi ayam.

Mi ayam biasa sudah banyak. Mi ayam goreng masih langka. Banyak pelanggan berdatangan. Penghasilannya kian meningkat. Kendati demikian, dia tak menghamburkan pemasukannya. Junet lantas membangun restoran sederhana. Dari bisnis kuliner ini, dia bisa membeli rumah dan kendaraan.

Lewat kisah tersebut, Yohanes menandaskan bahwa kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan sangat menentukan. Kehidupan kadang berubah tanpa bisa diprediksi. Orang harus mencari solusi setiap perubahan.

Secara sistematika, buku ini terdiri dari 8 bagian: Bisnis, Waktu, Kesuksesan, Perubahan, Impian, Kepercayaan, Keyakinan, dan Syukur. A Cup of Succes merupakan karya kedua Yohanes Babtista. Buah pena pertamanya berjudul Berani Bangkit Berani Menang (Februari 2012).

Alam merupakan guru kehidupan, termasuk segenap makhluk ciptaan-Nya. Tesis ini terbukti lewat observasi sederhana. Suatu sore, penulis sedang menikmati secangkir minuman hangat di teras rumah. Angin berembus lembut membuat suasana semakin nyaman.

Perhatian Yohanes tertuju pada kehadiran beberapa ekor semut. Semakin lama kian banyak rombongan semut yang melintas. Untuk membuat suasana makin seru, dia mengambil sesendok gula pasir dan kapur. Yohanes menaburkan gula di tempat-tempat tertentu. “Hanya dalam hitungan menit, semut-semut itu berdatangan dan menyerbu gula pasir yang ada.” (hlm 108).

Kemudian, Yohanes melingkari gula tersebut dengan kapur sehingga membentuk semacam benteng. Ia juga meletakkan lidi sebagai jembatan penghubung sepanjang lima senti. Selain ingin mendapat makanan, semut juga harus menghindari kapur kimia yang beracun.

Hanya dalam hitungan menit, semut-semut tersebut berhasil menemukan jembatan lidi untuk melintasi lingkaran kapur. Mereka sukses menjangkau gula. Memang ada sedikit semut yang gugur dalam perjalanan, tapi lebih banyak yang selamat dan berhasil mengangkut gula.

Jika semut kecil mampu menghadapi kondisi demikian tanpa kenal putus asa, kenapa manusia tidak? Dalam konteks ini, berbekal ketekunan bukan tidak mungkin setiap cita-cita tercapai.

Buku 305 halaman ini menjadi bukti keampuhan sebuah determinasi. Apa pun yang diraih hari ini merupakan buah usaha terus-menerus masa lalu. Manusia memanen yang telah ditanam. Tak ada pengecualian dan jalan pintas. Ketekunan dan anugerah Tuhanlah yang membawa keberhasilan.

Diresensi T Nugroho Angkasa, tinggal di Sleman

Judul : A Cup of Success, 80 Kisah Inspirasional untuk Membangkitkan Semangat Anda
Penulis : Yohanes Babtista
Editor : Agatha Trisanti
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan : 1/Mei 2012
Tebal :xx 305 halaman
Harga :Rp42.000
ISBN : 978-979-074-670

13385997932024856158