Januari 26, 2009

Jalur Sepeda

Dimuat di Rubrik Surat Pembaca Harian Joglosemar, 24 Januari 2009

Kampanye Sego Segawe alias bersepeda ke sekolah dan kantor hanyalah angin lalu jika tidak diimbangi kebijakan konkret di lapangan. Misalnya dengan menyediakan jalur khusus bagi pengendara sepeda dan memberi akses parkir sepeda di mal, pasar tradisional, gedung pemerintah atau swasta, kampus, rumah sakit, dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman penulis, bersepeda memiliki banyak keuntungan. Ngepit itu ”ASIK”. Ngepit ialah bahasa Jawa, artinya mengendarai sepeda. Entah itu pit onthel, mountain bike, ataupun jenis kereta angin lainnya. “A” singkatan dari Antipolusi. Di saat pemanasan global menggejala, usaha sekecil apa pun untuk mengurangi efek rumah kaca patut diapresiasi. “S” kepanjangannya Sehat. Menurut penelitian medis, rutin bersepeda bisa memperlancar peredaran darah, meningkatkan kinerja jantung dan menjaga vitalitas tubuh.

“I” berarti Irit. Saat harga minyak dunia serba tak menentu, kita perlu beralih pada alat transportasi yang murah meriah. Seorang kawan di WALHI memaparkan rumus -1, -5. Bila hendak bepergian kurang dari 1 km lebih baik berjalan saja dan kalau di bawah 5 km silakan bersepeda. Terakhir, “K” ialah Klasik. Bersepeda adalah kebiasaan masa silam yang masih relevan, sehingga perlu terus dilestarikan.

Sumber: http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32436&Itemid=1

Januari 22, 2009

Kualitas Penulis

Roy Peter Clark, pelatih penulisan di St. Petersburg Times mencatat 14 kesamaan kualitas para penulis yang baik setelah ia mewawancarai sejumlah wartawan terkemuka:

  1. Penulis yang baik melihat dunia bagaikan laboratorium jurnalisme mereka, sebuah gudang dengan gagasan cerita. Jika mereka ke lapangan, mereka pasti akan menemukan berita.
  2. Penulis yang baik lebih suka menemukan dan mengembangkan gagasan cerita mereka sendiri. Mereka menghargai kerja sama dengan editor yang baik tetapi sering menghindar dari editor buruk dan penugasan yang mereka anggap tidak berguna.
  3. Penulis yang baik adalah pengumpul informasi yang lahap. Ini biasanya berarti bahwa mereka mencatat semua yang mereka dapat. Mereka lebih menaruh perhatian pada mutu informasi daripada gaya yang berbunga-bunga dan sering menyebut diri sebagai wartawan daripada penulis.
  4. Penulis yang baik banyak menghabiskan waktu dan energi kreativitasnya untuk menulis kalimat atau paragraf pembukaan (lead) suatu cerita. Mereka tahu bahwa pembukaan ini merupakan bagian yang terpenting dari suatu tulisan, bagian yang mengundang pembaca untuk masuk ke dalam cerita dan mengingatkan tentang beritanya. Mereka cenderung menjelaskan bagaimana mereka berkali-kali menulis ulang kalimat atau pembukaan ini sampai mereka mendapatkan yang “pas.”
  5. Penulis yang baik berbicara tentang bagaimana mereka “membenamkan diri” dalam cerita mereka. Mereka hidup, bernafas, dan bermimpi bersamanya. Mereka merencanakan dan membicarakan dengan editornya dan selalu mencari arah baru dan informasi yang segar.
  6. Penulis yang baik adalah pekerja yang tekun daripada pekerja yang tergesa-gesa. Karena tuntutan standar yang tinggi mereka merasa naskah tulisan pertama mereka selalu tidak cukup baik sehingga perlu selalu diperbaiki. Tetapi bila menghadapi batas waktu penulisan (dead-line), mereka mampu bekerja cepat.
  7. Penulis yang baik mengerti bahwa bagian yang terpenting dari penulisan adalah mengatur atau mengorganisasikan bahan tulisan, suatu pekerjaan yang menjemukan. Saut Pett dari AP menyebutnya “pekerjaan keledai.” Mereka menanggapi ini dengan mengembangkan sistem kearsipan yang baik. Banyak di antara mereka yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan (aneh) untuk membangun semangat dalam proses penulisan, seperti merokok, makan nyamikan, berjalan-jalan, melamun, atau sering ke kamar kecil.
  8. Seorang penulis yang baik menulis ulang. Mereka menyenangi komputer yang dengan leluasa bisa mengubah-ubah tulisan dengan memindahkan kalimat, paragraf atau kata karena mereka selalu merasa tidak puas dengan tulisan mereka.
  9. Dalam menilai pekerjaan mereka, penulis yang baik cenderung lebih mempercaya kuping dan perasaan daripada mata mereka. Ada yang menatap layar komputer sambil komat-kamit dengan harapan bahwa musik yang ada di sanubari akan mengalir melalui jari-jari mereka. Penulis ingin membuatnya menyanyi.
  10. Penulis yang baik senang bercerita. Mereka selalu mencari segi kemanusiaan dari berita, untuk suara-suara yang menghidupkan tulisan mereka. Bahasa mereka mencerminkan perhatian mereka pada bercerita. Daripada berbicara tentang 5 W, mereka lebih senang mendiskusikan anekdot, suasana, kronologi, dan narasi.
  11. Penulis yang baik terutama menulis untuk memuaskan diri mereka dan memenuhi standar berat mereka sendiri, tetapi mereka juga sadar bahwa menulis adalah suatu transaksi antara penulis dan pembaca. Tidak seperti kebanyakan wartawan, penulis yang baik yakin bahwa tulisan yang baik tidak akan ditinggalkan pembaca. Mereka menghargai pembaca dan ingin menghadiahkan dan melindungi mereka dan bertanggungjawab untuk apa yang pembaca dapatkan dari sebuah tulisan.
  12. Penulis yang baik mencoba berbagai kemungkinan dalam penulisan. Mereka senang dengan kejutan dan pendekatan yang tidak biasa dari suatu cerita. Dan mereka menyukai editor yang memberi kesempatan untuk bereksperimen tetapi yang akan menolong mereka dari kejatuhan.
  13. Penulis yang baik adalah pembaca seumur hidup, kebanyakn novel, dan mereka menyukai film.
  14. Penulis yang baik menulis panjang, dan mereka sadar itu. Tidak seperti banyak wartawan, yang berhenti mempedulikan pembaca setelah menyelesaikan bagian pembuka (lead), penulis yang baik berusaha agar tulisannya menarik sampai akhir sehingga pembaca tidak berhenti. Tulisan mereka begitu baik sehingga sulit dipotong dari bawah. Mereka menginginkan pembaca membaca setiap kata.
Sumber: Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, hal 110-113, Kompas, 2005

Januari 05, 2009

Apresiasi terhadap Dalai Lama

Dimuat di Rubrik Jagongan, Harian Jogja, Senin/6 Januari 2008

Anand Krishna, tokoh spiritual lintas agama Nusantara, bersama 6 pengurus Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) mengunjungi Sarnath pada Senin (5/1) untuk memberikan patung Buddha (terbuat dari batu setinggi 2,5 meter) kepada Yang Mulia Dalai Lama ke-14 Tenzin Gyatso, pemimpin spiritual dan pemerintahan rakyat Tibet di pengasingan India.

Pasca diinaugurasi secara langsung oleh Dalai Lama ke-14, patung tersebut akan diletakkan di Central Institue of Higher Tibetan Studies Deemed University, daerah Uttar Pradesh, India. Buah karya seniman Bali, Nyoman Alim itu terbuat dari batu yang sama dengan bahan baku Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah.

Anand Krishna mengatakan persembahan ini untuk memperkuat ikatan spiritual dan budaya masyarakat Indonesia dan Tibet. Dengan mempersembahkan patung dari Indonesia kepada Dalai Lama yang kemudian diletakkan di tanah India diharapkan rakyat Tibet, India, dan Indonesia bersatu dalam cinta, damai, dan harmoni.

Menurut catatan sejarah Tibet, terdapat hubungan yang erat antara Sriwijaya dan Tibet, yakni melalui Atisha, seorang biarawan Buddhis dari India. Beliau ngangsu kawruh alias belajar selama 10 tahun dari Dharmakirti - Svarnadvipi, seorang guru spiritual yang hidup pada masa Sriwijaya di abad ke-11 Masehi.

Selanjutnya Atisha melawat ke Tibet dan mengajarkan teknik meditasi Tong-Len yang beliau pelajari dari Sang Master. Intinya bagaimana menarik negativitas dan mentransformasikannya menjadi positivitas. Hingga saat ini nama Dharmakirti-Svarnadvipi begitu lekat dalam hati Dalai Lama ke-14 dan masyarakat Tibet.

Maya Safira Muchtar, ketua Yayasan Anand Ashram, mengatakan saat ini tak banyak orang Indonesia yang mengetahui hubungan sejarah antara Sriwijaya dan Tibet tersebut. Masyarakat Tibetlah yang mendokumentasikan dan mempraksiskan ajaran spiritual selama ratusan tahun. Pengirimaan patung Buddha ini ialah sebentuk ungkapan rasa terima kasih atas jasa besar tersebut. Rahayu!